Merpati Tanpa Sangkar

Tanah sudah kering, bekas banjir bertahun tahun yang lalu tak lagi tampak. Permukaan dilapisi lumpur mengeras merekah. Terik matahari dan angin pelan membuat udara semakin gerah. Pohon tumbang berserakan dimana-mana. Sebagian batangnya melesap ditimbun lumpur. Sebagian dedaunan muncul ke permukaan, seperti rumpun semak kering. Lainnya jungkir balik, beberapa bagian akar justru mencuat di atas tanah, sementara ranting dan daunnya tenggelam, mungkin sudah lebur bagai jenazah.

Beberapa tiang listrik masih bercokol. Beberapa tiang listrik lainnya tumbang. Nggelosor sepanjang empat meter atau lebih. Kabel sudah tiada beda dengan tali-tali jemuran. Berjuntai, putus, ruwet dengan lainnya. Lebih mirip bekas rusaknya sarang laba-laba.

Prisma segitiga yang dulunya terbuat dari tatanan genting kini tinggal tulangnya saja, ambruk remuk entah kemana.

Aku tidak tahu apa yang terjadi tepatnya. Kabar itu datang tujuh tahun yang lalu, dari televisi. Waktu itu belum ada handphone yang bisa merekam sebuah kejadian secara tiba-tiba. Apalagi CCTV, untuk apalah memasang benda semacam itu di kampung yang keperluan listriknya bahkan dibawah rata-rata, terlalu melimpah.

Ketika disiarkan, kondisinya sudah terurug tanah. Aku membayangkan mereka semua tak sempat berlari jangankan, terbangun saja tidak. Dini hari pukul 02.00 kurang lebih. Bahkan baru menginjak waktu sepertiga malam terakhir. Orang-orang mungkin belum mulai bangun untuk bertahajud. Bahkan TVRI masih menampilkan layar barcode kotak-kotak di televisi buram dengan lagu Indonesia Raya atau dengungan panjang tiada henti.

Bahkan jika sudah ada yang terbangun, mereka pasti masih terkantuk-kantuk sebelum tersentuh air wudhu. Bahkan jika masih ada yang terjaga, mereka pasti diambang mimpi yang mulai menganga.

Tidak ada badai ataupun guntur. Hanya gerimis di akhir bulan April, hampir menghabiskan sisa musim hujan.

Desa kami terletak di kaki bukit, di salah satu pulau terbesar dunia, Kalimantan. Tanah kami berwarna kuning, jika basah lembek seperti lumpur, jika kering berterbangan menjadi debu.

Bukit itu sudah lama digunduli. Dan hingga suatu hari sebongkah tanah di atas desa kami menyeruduk seperti banteng. Membawa sisa-sisa batang pohon tinggi. Mengubur begitu saja desa kami.

Aku sudah berlayar ke Jawa ketika itu, ketika pemberitaan televisi memberitahu. Kembali pulang ke Kalimantan membutuhkan biaya yang tak sedikit. Kapal pilihannya, resiko waktu perjalanan yang lama, bahkan aku tak punya uang. Apalagi pesawat, duduk di besi terbang dengan udara sejuk tentu mahal sekali biayanya.

Kabar bertubi-tubi datang, aku menjemputnya melalui telepon koin di pinggiran jalanan Jakarta. Tidak ada yang selamat, tidak ada yang hidup, semua orang sudah dikebumikan.

Keluargaku tidak ada yang merantau, hanya aku seorang. Kakek nenek, paman bibi, ayah ibu, dan tujuh saudara lelaki perempuanku hidup di desa kecil itu. Bergotong royong, bahu membahu, kawin, beranak pinak banyak sekali.

Maka tidak ada artinya pula aku kembali, hanya daku tuan rumah tanah duka cita. Maka kutahankan tangis-tangis tujuh tahun terakhir di tengah pengapnya Jakarta yang kian panas. Kukumpulkan rupiah demi rupiah berharap seseorang nantinya ada yang mengenaliku di kampung halaman. Atau setidaknya mereka membangun rumah baru yang sedikit menjauh dari reruntuhan.

Pada akhirnya, tanah itu tak berubah. Dari semenjak runtuhnya, semua masih bercokol di bumi. Sekarang aku mengerti kalimat yang mengatakan bahwa semua orang sudah dimakamkan, tentu saja. Mereka tidak pernah terangkat dari tanah semenjak kejadian itu, tidak ada seorangpun membantu. Membiarkan yang takdirnya mati, mati. Meninggalkan yang takdirnya hidup, mati.

Aku berdiri di atas tanah reruntuhan, bekas desaku. Sejenak saja. Lalu kembali ke Jakarta. Aku ini merpati, ingin pulang dan tiada sarang yang menanti. Lalu, aku terbang lagi. Biarlah lelah, sebatang kara di tengah sesaknya bumi.

###
Sumber gambar : google

Share this:

JOIN CONVERSATION

    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar