OPALO # 5

Hubungan seperti apa yang kujalani dengan Opalo selama 16 tahun terakhir? Normal, kami bersaudara, tinggal sekamar, bertengkar adalah hal biasa. Berbagi makanan, bersepeda bersama, saling menolak melaksanakan tugas membantu ibu,  tidak ada yang aneh.

Awalnya kaku mengetahui kami bukan saudara kandung, tapi aku bisa apa? Dia tetaplah kakakku. Waktuku lebih banyak kuhabiskan dengannya. Aku justru tidak terlalu sering berinteraksi dengan Gema.

Mungkin Opalo shyok, tiba-tiba merasa terasing. Tapi nyatanya ia bisa tetap bersikap dewasa sebagai kakakku. Meski uring-uringan, ia tidak marah padaku. Atau, kemudian membandingkan posisi kami di keluarga, tidak.

Sudah tiga bulan sejak ulang tahunnya, Aku masih menduga. Memangnya aku bisa membayangkan apa mengenai seorang anak yang ditinggalkan orang tuanya sejak kecil. Aku hanya anak kelas 1 SMA. Masih mencoba mencari tahu, tidak banyak suudzon atas apa yang terjadi. Hanya merasa getir kenapa itu semua adalah nasib Opalo, kakak ku.

Kami keluar dari RSI Sultan Agung jam 11 siang, Opalo mengajakku jalan-jalan ke simpang lima, beli es doger atau apa, begitu katanya.

Kami anak-anak ibu kost, liburan kami dirumah saja, hanya sekali dua keluar untuk jalan-jalan ke pasar atau ke simpang lima lagi.

Opalo membeli dua cup es kopyor. Cuacanya hangat bulan Januari, tidak hujan. Kami duduk di bangku yang ada di trotoar. Tepat di depan halaman Citra Land studio 21. Ada bangku taman yang sengaja dipasang disitu, sepertinya sudah lama. Pohon-pohon besar, entah pohon apa menaungi kami dari teriknya matahari siang. Ada lampu-lampu jalan berjajar, trotoar ini semakin indah jika malam hari, apalagi saat hujan.

Kami menyeruput es kopyor, membeli sosis jumbo besar-besar rasa pedas, mengambil foto, selfie, wefie.

Saat ini Ibu memang sudah membelikan kami handphone, dengan syarat dipakai saat liburan dan dirumah saja. Handphone Opalo lebih bagus dari milikku. Aku senang memakai miliknya untuk berfoto karena resolusinya lebih tajam. Kami lalu memajang foto berdua di aplikasi BBM kami, foto yang sama.

Aku mengamati wajah kami di foto, beda. Sekarang aku mengenali betul kalau kami memang bukan saudara. Hanya terlihat mirip karena mata kami sama besarnya, dan kulit kami sama cokelatnya.
Aku membandingkan wajah Opalo di foto dan wujud aslinya. Jujur saja, di foto memang tidak kelihatan, tapi dalam kenyataannya aku bisa melihat kalau mata nya memiliki corak yang berbeda.

Aku tidak terlalu peduli dengan sakitnya selama ini, tapi ada warna kehijauan yang disembunyikan dari balik contact lens berwarna dark brown.

"Matamu kenapa sih, kak?"
Opalo tersenyum menatapku, bibirnya menjep, lalu mengangkat alis.

"Ayolah, kasih tau. Sakit ya? Kalau ditetes-tetes pakai obat begitu?"

"Enggak, pahit aja sih", santai sekali.

"Memang harus pakai contact lens?!", tanyaku sengit, menyelidik.

"Nggak juga, cuman buat perlindungan aja"

"Brati nggak sakit-sakit amat dong?!"

"Emang iya"

"Tapi ke dokter terus"

"Setahun dua kali, jugak"

Aku menggumam, "kan beli contact lens di optik bisa, nggak harus ke dokter? Mana jauh lagi, harus yang RSI Unisula"

"Dirawat, biar sakitnya cukup aja begini, nggak nambah-nambah"

Aku ber oh pendek. Opalo mengajakku pulang. Lalu menemui ibu, mengatakan ingin tinggal di kamar kost yang disewa orang tuanya. Hari Minggu sore itu juga, aku harus membantunya mengangkat barang-barangnya dari kamar kami. Membantunya bersih-bersih.

Penghuni kost sih, tidak peduli, tidak ikut campur melihat anak-anak ibu kost beres-beres.
Menjelang petang, semuanya beres. Memang tidak ada kerusakan atau kotoran yang sangat berarti karena selama ini Ibu selalu merawat dan menjaga kondisi kamar itu seperti perawatan untuk kamar lainnya.

Kamar kami sekarang berubah menjadi kamarku, kosong, sepi. Kasurnya juga kosong satu.
Jam 8 malam aku selesai mempersiapkan alat sekolahku untuk masuk esok Senin, hari pertama masuk setelah liburan semeateran. Aku mengirim pesan BBM padanya yang sudah pindah ke kamar kost.

"Kak, disini sepi. Kakak tidur disini saja"
Hanya dibaca. Aku kesal.

Aku beranjak dari kamar, mungkin kalau aku ke kamarnya tidak akan sepi lagi.
Kost an keluarga berada di sebelah kanan rumah, tiga lantai dengan masing-masing lantai terdapat 7 kamar dan 2 kamar mandi.

Aku harus keluar dari pintu rumah untuk ke kamar Opalo, dia di kamar nomer 2 di lantai 2.
Kamarnya terang, mungkin dia juga sedang bersiap-siap. Aku membuka pintu kamarnya begitu saja, merasa seolah ini kamarku juga.

Aku hampir berteriak saat Opalo melompat sigap lalu membekap mulutku dengan telapak tangannya. Kurasa kami sama-sama terkejut. Opalo menyudutkanku di dinding sambil berusaha menahan perlawananku. Aku menendangnya, berusaha berteriak tapi telapak tangannya rapat. Kugigit sekenanya, tapi Opalo tak terpengaruh.

"Diam, kubilang diam! Kakak akan lepaskan kamu kalau kamu diam!"
Aku seperti terbakar, meronta-ronta. Opalo membenturkan kepalaku ke lemari kayu. Aku kesakitan, dan perlawananku melemah.

"Maaf Anita, tolong diamlah dulu"
Dengan dada yang berdegup kencang, aku berusaha mengendalikan diri. Opalo menyeretku ke kasur, aku naik dan duduk gemetar. Opalo mengunci pintu kamar lalu meletakkan kuncinya di meja. Ia mengambil sebuah amplop coklat besar, melemparkannya padaku.

"Bukalah"

Kurasa ia gemetaran juga.



##
Pict : google

Share this:

JOIN CONVERSATION

4 komentar: