The Dandelion

Selaksa angin menerbangkan dedebuan. Sore cerah dengan mentari yang terik. Kemana langkahku membawa kisah, engkau telah terpatri menjadi sepenggal nama. Syauliand, menggema gema dari balik tabir aksara. Tapi bagiku hanya terdengar sepenggal, nama masa kecil dalam sejarah lalu, Uli.

Kau mengajariku berenang di sungai, aku tak pernah menguasainya. Kau mengajariku menarik layang-layang, nasib taliku putus di angkasa. Kau memberitahuku rahasia menangkap capung dengan jaring laba-laba, dan mangsaku melarikan diri. Kau mengajariku bersiul memanggil merpati, dan justeru mereka ketakutan padaku.

Aku tak mau lagi, tak mau lagi kau ajari. Kecuali kau mau kutantang berlari, karena hanya ini keahlianku untuk mengalahkanmu. Aku si juara berlari, mencuri ketela kau yang tertangkap, mencuri mangga kau yang dimarahi, mencuri rambutan kau yang dikerubuti semut, sebab kau tak pernah bisa menandingi kecepatanku.

Di suatu hari yang impas. Kau bercebur-cebur riang di sungai, aku hanya berani mengecipakkan kaki. Dasar bebatuan pasir dengan air berombak itu terlalu dalam, aku takut tenggelam.

"La', kemari!", seruanmu setengah berbisik diantara gemericik air sungai. Tanganmu melambai cepat dari seberang, aku masih duduk di bebatuan. Kugeleng kepalaku cepat, aku tidak mau menyeberang, takut air sungai menyeretku. Lalu kau mencebur dan dengan meliuk-liuk di dalam air dan tiba-tiba sudah muncul di sampingku.

"Ayo!", kau menarik pergelangan tanganku dan aku harus bangkit jika tidak ingin kau seret. Kau melangkah lebih dulu di atas bebatuan yang menyembul di permukaan, aku mengikuti langkahmu hingga ke seberang. Kau isyaratkan agar aku tenang dengan jari telunjuk di atas bibirmu. Lalu kita berjalan mengendap seperti pencuri, mengintip dari balik semak dan rumpun bambu.

Syahdan, gerombolan kupu-kupu terbang dan hinggap. Kisah ini sangat masyhur dalam ingatanku. Mereka berwana biru, kuning, merah, besar kecil dan banyak sekali.

Lalu kau mengajakku berjalan ke bagian sungai yang lebih jauh dari desa kita, dengan langkah ceria, dua anak kecil sepuluh tahun berlari-lari menuruni bukit. Tampak jauh memang, namun aku senang. Ada rumput alang-alang tinggi yang bisa menyembunyikan tubuh kita. Aku ingin kesana tapi kau mencegahku, berbahaya katamu. Lalu kita duduk diantara ilalang pendek. Baju kita yang basah sudah kembali kering. Rambut bergimbal tak teratur, lebih buruk dari gelandangan.

"Ini apa?", tanyaku padamu, atas bunga-rumput dengan bulu-bulu. Berbentuk bulat. Kau mengambilnya dari tanganku lalu meniupnya. Serpihan batang kecil dengan juntaian lembut berwarna putih terbang di udara.

"Ini namanya bunga ilalang", katamu. Dan aku percaya, pada anak lelaki berkulit cokelat gelap, selalu ceria, dan mengajariku banyak hal yang tak kutahu.

Akan tetapi waktu berlalu, pulang kampung bersama dan jalan-jalan ke sawah menjadi hal istimewa. Tidak ada udara sejuk dengan aroma ilalang basah di kota. Enam belas tahun, tujuh belas tahun, delapan belas tahun, sembilan belas tahun.  Usia kita sembilan belas tahun, dan kau bilang cukup bagimu, kau tak ingin sekolah lagi. Aku mendesakmu, memaksa.

Setahun, dua tahun, tiga tahun berlalu. Aku selalu ingin pulang, mengajakmu kembali menyusuri tepian sungai. Kubilang aku belajar berenang di kolam renang. Dan kau menertawakanku.

"Kau itu pelari, La'. Buat apa belajar berenang"

Aku kecewa, sungguh. Kutahan keinginanku untuk membeli banyak barang seperti teman-teman lainnya. Kutahan nafsu mencicipi jajanan pinggir jalan di kota, demi membeli karcis kolam renang. Dan responmu?.

Tetapi kekecewaan itu tidak pernah lama. Kufikir kau benar, karena aku lebih hebat dalam berlari daripada terjun ke dalam air.

Satu tahun lagi berlalu, aku lulus sarjana fisika, menjadi fisikawan. Usia kita 22 tahun lebih sedikit. Kukatakan padamu mungkin aku ingin melanjutkan kuliah lagi.

"Berangkatlah, aku selalu mendoakanmu"

Kau menanam padi, menangkap ikan, menjual durian dari kebunmu sendiri, menyiangi rumput di kebun stroberry.

"Pergilah ke kota. Kau pelari hebat, gunakan kekuatanmu selagi bisa"

"Tidakkah kau ingin menjual durianmu di kota, mereka pasti membayar lebih mahal disana", ujarku. Tapi kau mengatakan jika kau menjualnya ke kota, orang desa akan membeli dengan harga yang jauh lebih mahal lagi dari kota. Lagi-lagi benar.

Kebenaran-kebenaran kecil mu itulah, yang membuatku selalu ingin pulang. Seperti yang kulakukan suatu sore pada semester ketigaku menempuh pascasarjana. Aku pulang menemuimu.

Di antara ilalang pendek, kita duduk menatap kejauhan. Angin berbisik.

"Kau senang hidup di kota?", tanyamu.

"Kurasa tidak, aku selalu ingin pulang"

"Kau berasal dari sini. Tentu saja kau selalu ingin pulang"

Aku hanya tersenyum tipis, penasaran dengan mimik wajahmu ketika itu.

"Aku selalu ingin pulang, ke tempat dimana ada kamu"

Dan, kali ini yang pertama kali. Aku bisa menatap seluruh lekuk wajahmu tanpa bentuk senyum disana. Alis berbaris tegas seperti semut berkerumun menaungi mata kecilmu, hidung panjang lurus rendah, seperti seekor elang dihadapanku.

"Aku...", oh sungguh aku ingin meneriakkannya.

"Kau kembali karena aku disini?"

Dan aku hanya mengangguk, kusuguhkan senyum tipis padamu, bahwa perkataanku sungguh-sungguh.

"Ayo pulang"

Lalu aku mengikuti langkahmu, seperti dulu, ketika kita menyebrangi sungai diatas bebatuan.

Anak lelaki dengan kulit cokelat yang hampir legam terbakar panasnya matahari, kini kita bukanlah anak-anak lagi. Kau harusnya menjelma menjadi seorang lelaki, bagiku.

***
Bersambung ke episode 2
Sumber gambar : google

Share this:

JOIN CONVERSATION

2 komentar: