Bubuk Kopi Bag 5

Rumah beraksen villa tampak dari luarnya, namun seisinya jauh lebih mewah. Mewah karena arsitektur yang melekat, warna-warna kayu rumah tradisional jepang.

Semua pintunya berupa soji, pintu kayu khas rumah jepang. Namun dindingnya berupa tembok kokoh yang dilapisi cat bertekstur kayu. Lantainya juga berupa keramik persegi panjang berasal dari kayu. Tidak banyak perabotan, tidak ada lemari besar dengan berbagai isi pameran. Semuanya tampak standar.

Cat tembok berwarna coklat dan krem membentuk jalur-jalur usia kayu, imitasi. Memaksa pemilik rumah memasang lampu-lampu kecil dan menyalakannya sepanjang hari ketika cuaca mendung. Cahaya matahari dibiarkan masuk melalui dinding-dinding kaca tebal, di sisi timur dan utara rumah yang berbentuk persis persegi, lebih tepatnya balok.

Aksen redup pada setiap furniturenya, menambah kesan dingin, beku dan senyap. Ranjang kayu, lemari kayu, meja kayu, hampir semuanya berwarna kayu. Kecuali langit-langit bangunan, yang memiliki warna krem.

Ada satu ruangan dengan perabot yang berbeda. Narai menyebutnya ruang baca. Meski seluruh lapisan menunjukkan warna kayu, ada satu hal mencolok di dalam ruangan itu. Sofa dengan kulit kain beludru, terang dan hangat. Sekaligus karpet ubur-ubur dengan bulu bergerombol, warnanya sama dengan sofa, hanya sekilas lebih tua.

Tata menghentikan penjelajahan disana. Duduk terpekur di atas sofa besar dengan kaki bersila, memandang lanskap tangkuban perahu, memikirkan sesuatu.

"Kau mulai menyesali ijab qobul kemarin lusa?". Tegur Narai dari pintu, Tata bergeming tidak peduli. Memaksa Narai masuk dan duduk disebelah Tata.

"Kau mulai berfikir tentang perceraian?"

Tata spontan menatap tajam kepada Narai, menaikkan kedua alisnya. Narai hanya nengendikkan bahu.

"Oke, jadi begini. Karena kau tidak menyukai pernikahan ini. Apa yang harus kita lakukan?"

"Membuat rumah tangga yang harmonis, mungkin?", jawab Tata datar. Narai tersenyum lebar, menampakkan barisan gigi yang teratur.

"Aku merasa akan gila", Narai bangkit dengan gejolak tubuh yang terkesan marah, merapat kepada dinding kaca, "kemarilah".

Narai nengambil tangan kanan Tata.
"Aku bingung, katakan padaku apa yang harus kulakukan padamu? Kau tidak mau kan, hidup semacam manekin, kita berdua? Tinggal serumah dengan status suami istri, tapi, senenarnya rasanya mulai tidak masuk akal"

"Kau setuju mengembalikan penglihatanku, kan?"

"Ya, mungkin kita harus mulai berbagi rahasia"

"Rahasia?"

"Tahu tidak? Dihadapanku kau bertingkah semacam robot, aku bahkan tidak percaya kau seorang dosen. Bisakah kau bersikap seperti manusia?"

"Jangan lucu!"

Keduanya terdiam, sama-sama berwajah datar. Tampak sekali penuh dengan kebohongan, tidak menunjukkan diri mereka sebenarnya.

"Jika kau terus bertingkah semacam ini, kita akan menjadi sepasang manekin yang begitu menderita, Ta"

Tata mengangguk.

"Kau punya kopi? Aku ingin minum kopi"

"Sebaiknya kau membuatkan masakan apapun untukku", ujar Narai setelah mengangguk.

"Kopi?", tanya Tata lagi. Dan Narai mengangguk lagi.

***
Narai POV

Jadi, sekarang aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apa tujuan pernikahan ini? Tidak ada. Sepertinya aku dan kau sama gilanya ya? Kau setidaknya bersyukur ayah dan mamahmu tidak mengetahui kegilaan putrinya.

Tidak ada cinta, tidak ada kerelaan, tidak ada kesepakatan. Maka cepat atau lambat pernikahan ini sia-sia, kan? Kemudian aku akan menduda, dan kau juga menjadi dosen janda. Ahh, sejak awal semuanya tidak masuk akal. Mungkin aku gengsi menolak tawaran ayahmu? Tapi kau sungguh cantik, proporsional untuk menjadi seorang istri idaman. Lelaki mana yang sanggup menolakmu, Ta? Mungkin aku benar, bahwa kau manekin, robot yang sudah diprogram untuk mencintai 1 orang saja?

Tidak ada artinya, membosankan, menjengkelkan. Mari kita lihat seberapa kuat kita hidup seperti ini.

Sumber gambar : google

Share this:

JOIN CONVERSATION

2 komentar: