Bubuk kopi bag 3

Narai duduk selonjor di sebuah sofa panjang dan lebar, setengah mirip kursi santai, setengah mirip kasur. Di hadapannya ada dinding kaca setebal setengah centimeter. Dinding kaca itu tembus pandang hingga keluar, menampilkan lanskap pemandangan alam dari ketinggian. Sebuah rekahan di tengah gundukan tanah, kubangan air mendidih dengan uap membumbun dari gunung tangkuban perahu, dari kejauhan.

Di sebalik sofa besar tersebut, ada sofa lain yang bentuk dan warnanya sama, beludru putih, posisinya berlawanan arah. Sofa ini lebih kecil dan hanya muat hingga lurut orang dewasa ketika diduduki. Di depan sofa yang lebih kecil ini sebuah meja rendah dari kayu dan taplak kaca tebal teronggok sepi, hanya sebuah lilin di gelas putih yang masih padam.

Tata memasuki ruangan tersebut dari pintu geser seperti rumah-rumah di jepang dari bagian belakang punggung Narai, meletakkan dua cangkir kopi yang asapnya mengepul dan menggoda di meja. Kemudian duduk tenang di sofa kecil menghadap meja. Dinding di hadapan Tata sebuah televisi layar datar dengan ukuran inch yang menakjubkan. Lebar seperti layar tancap, tampak melekat sempurna dengan tembok.

"Kau tidak tertarik dengan aromanya?", tegur Tata kepada Narai, yang membisu dan tampak tidak tertarik dengan kehadirannya, bermaksud menawarkan kopi buatannya.

"Ya, aku mencium aroma kayu manis. Aku sangat tergoda"

Hening lagi, mereka duduk diam saling membelakangi. Narai memandangi lanskap di hadapannya, rambut pendeknya tenang, seperti rahangnya yang mengeras. Setenang ruangan ini, yang bahkan tidak ada jam dinding berdetak. Senyap dan beku.

"Apa yang kau pikirkan?", tanya Tata kemudian, ia bangkit mengambil satu cangkir dan beringsut merapat kepada Narai.

"Kamu", terang Narai tenang, masih memandang jauh kedepan.

"Kau akan tambah tua dengan cepat, jangan terlalu memikirkanku"

"Aku akan tua dan lapuk, dipajang indah seperti buku-buku itu", Narai melempar pandangannya kepada lemari buku setinggi atap selebar dinding di sisi kanan mereka. Dinding itu penuh dari bagian atas, kemudian semakin melonggar di bagian bawah, karena tatanan buku.

"Lalu kau akan dimakan rayap, seperti buku-buku itu". Tata menyodorkan gelas di bawah janggut Narai, membiarkan uapnya yang hangat dan wangi mengembuni wajah pria itu. Beberapa detik kemudian Narai memalingkan wajahnya, memandang lekat mata Tata.

"Di ruang baca ini, seringkali aku berpikir. Jangan-jangan aku yang gila disini"

"Apa yang membuatmu merasa gila?"

"Karena aku mencintai wanita gila yang tidak mencintaiku, dan menikahinya", wajah Narai tanpa emosi, ia sudah terlalu biasa bersikap semacam itu "aku tahu rasanya jadi kau, Ta. Mencintai seseorang yang bahkan kau tidak yakin apa yang akan dilakukannya untukmu. Sepertinya nasib kita sama", suaranya lembut, namun lagi-lagi tanpa emosi "satu-satunya wanita yang bisa menggodaku hanya dengan secangkir kopi bearoma kayu manis, tapi tetap saja pahit. Menunjukkan siapa dirimu bagiku, seperti halusinasi uap yang tak mungkin ku tangkap kan? Tapi kepahitannya benar-benar membuatku lena".

Sekarang uap nafas mereka, dan uap secangkir kopi itu menyatu. Menimbulkan percikan mikro air yang melayang dan melebur di udara.

Hening lagi, seolah buku-buku di sebelah kanan menatap tajam mereka. Seolah televisi di belakang mereka merekam gambar yang tertangkap di layarnya. Seolah dinding kosong tanpa apapun di sebelah kiri mereka menyerap sempurna uap perasaan dua manusia itu. Dan secangkir kopi yang masih berada di meja, tak lagi hening karena harus menemani lilin yang bisu tidak berpendar.

"Mungkin kau tidak mencintaiku, akan tetapi pada cangkir-cangkir kopi yang kuaduk sempurna"

"Benar sekali", Narai masih memandang lekat mata kekasihnya "aku terlampau gila karena jatuh cinta pada kopi dan menikahi pembuatnya", lanjutnya, parau. Tata berusaha menelan ludahnya sendiri.

"Selama ini aku berfikir kita saling menyakiti", sahut Tata kemudian.

"Tidak, kau yang menyakiti dirinu sendiri, menyakitiku, menyakiti pria itu", Narai menyesap kopi yang cangkirnya masih berada di tangan Tata.

Hening, mereka mendengarkan detak jantung masing-masing yang seirama, lagi. Tata mengangkat tangan kanan Narai dan meletakkan cangkir kopi di telapaknya. Tata beringsut turun ke lantai, memandangi susunan persegi panjang silang menyilang di bawah kakinya. Lantai itu tebuat dari kayu, lebih hangat ketika musim dingin. Apalagi di puncak dataran tinggi tangkuban perahu. Kemudian melangkah keluar dari pintu geser setelah sebelumnya menatap bayangan punggung Narai dari gelapnya layar televisi, yang terletak bersisian dengan pintu. Tata menghela nafas dan menghilang sempurna dari balik soji, pintu kayu dengan lapisan kertas.

Sumber gambar :

Share this:

JOIN CONVERSATION

12 komentar:

  1. Tulisannya keren euy...ini bersambungkah mba Rina...? Jd penasaran..hehee

    BalasHapus
  2. iya keren, aku sampe harus mikir dulu buat bayangin apa yg Mbak Rina deskripsikan. aku blm bisa membuat cerpen yg deskripsinya sedetail itu

    BalasHapus
  3. Lupa sama eternitnya, sama cat temboknya, hahaha

    BalasHapus
  4. Iya keren banget mbak El...:)

    BalasHapus
  5. Iya keren banget mbak El...:)

    BalasHapus
  6. Qumli tuproq nya udah tamat blm mbk rin?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum, ada 2 cerbung memang yg lg dikerjain skrng, doakan semoga sukses, aamiin, bebebe

      Hapus
  7. Deskripsinya keren.. ditunggu kelanjutannya mba. Salam kenal. Aku anggota ODOP batch 2.

    BalasHapus