Bubuk Kopi bag 7

Kepribadianku memang buruk. Aku tidak bisa tampil sempurna. Maka maafkan sajalah. Atau kalau kau tidak suka, menjauh dariku.

Perempuan itu berdiri termangu di ruang tunggu. Ada banyak kursi kosong tersedia. Kenapa dia melakukannya? Memberitahuku bahwa ia sedang terburu-buru. Aku tidak segera menemuinya. Gelagatnya biasa saja, berdiri tenang dan memandang sekeliling. Lihat saja, saat pandangannya tertuju padaku yang masih berdiri di ambang pintu, bagian dalam ruang dosen, saat itu aku melangkah menghampirinya.

Dua kali aku bertemu perempuan ini, tepatnya wanita anggun yang memiliki status sebagai istri mas Danu. Pertama, saat mereka menikah dan kedua, hari ini.

Aku tidak kenal perempuan ini, Andini. Hanya tahu namanya.

Kujabat tangannya yang hangat, ia kemudian mendekat dan menempelkan pipinya ke pipiku, cipika-cipiki.

Kupikir sejak awal sudah ganjil perempuan ini mengajakku makan siang bersama, karena biasanya aku membawa bekal nasi dari rumah. Aku tidak nyaman menolak, sehingga kubiarkan kotak nasiku tetap berada di dalam tas.

Tidak di restoran mewah, hanya sebuah resto semi modern yang menyediakan masakan padang dan prasmanan komplit. Lokasinya dekat dengan kampus, harga mahasiswa tentunya. Karena kulihat beberapa mahasiswaku juga makan siang disini, hanya dengan kuah.

"Kopi?", dia menanyaiku, aku mengangguk.

Ganjil memang, aku sudah menduga  ada yang ganjil. Tapi kurasa dia berfikir sesuatu tentang kopi. Bukan aku merasa terbawa perasaanku sendiri, tapi kopi adalah minuman favoritku. Apa Andini penyuka kopi juga?

Kami benar-benar makan siang, makan siang sungguhan yang membuat perut kenyang, bukan makan siang basa-basi.

"Kau sangat suka kopi ya, dik?", Andini memanggilku dik, wajar saja. Dia memang seusia dengan mas Danu. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Ada apa mbak?", kurasa aku jengah juga harus menahan rasa penasaranku dengan tujuannya menemuiku, setelah pertemuan setahun lalu di pernikahannya "ada yang bisa saya bantu mbak?"

Andini tersenyum, sadis sekali. Bertolak belakang dengan kerudung panjang yang dikenakannya, tiba-tiba kesan anggun itu terlempar jauh sekali.

"Sejak kapan kalian menjalin hubungan di belakangku?"

Aku harua terdiam sejenak, pasti terjadi sesuatu dengan mas Danu.

"Maksud mbak? Hubungan? Dengan?"

"Dengan mas Danu", aku yakin dia berusaha menahan amarah kalau dia marah.

"Kami, kami berteman cukup lama. Semenjak aku masih kuliah mbak"

"Berteman?"

Aku hanya diam, memandang wajahnya datar. Kutunggu kalimat apa yang akan meluncur dari bibirnya.

"Aku tahu sudah sejak lama mas Danu selingkuh dariku"

"Tidak mbak, sumpah. Kami hanya teman. Tidak ada hubungan apa-apa. Kenapa mbak bicara seperti itu"

"Mampir ke rumahmu setiap pulang kerja itu kau sebut berteman?"

"Itu hanya kebiasaan, mbak. Kami tidak selingkuh"

"Beberapa hari yang lalu mas Danu sakit, dik", ganjil, suaranya tiba-tiba turun "sakit panas parah sekali". Ya, aku tahu itu karena dia tidak mampir ke rumah kost ku.

"Dalam tidurnya, dia terus memanggil namamu. Aku berfikir dia selingkuh denganmu,...". Tetapi, aku tidak tahu bagian ini, mungkin mas Danu juga.

"Tidak mbak, sungguh", aku harus mencoba memohon bahwa memang tidak ada perselingkuhan apapun diantaraku dan mas Danu, kupotong kalimatnya.

"Aku berfikir kalian mungkin saja melakukan sesuatu yang mencoreng harga diri kalian sendiri"

"Mbak, percayalah. Kami tidak"

"Dengar, aku memberimu dua pilihan. Kalau kau mencintainya atau kalian memang saling mencintai, ambillah tempat kedua sebagai istrinya. Atau, tinggalkan dia, jangan pernah muncul bahkan di dalam mimpinya, sama sekali"

'Tempat kedua?'

Andini bangkit, membayar makanan kami dan pergi menghilang. Tempat kedua?

Sumber gambar : google

Share this:

JOIN CONVERSATION

2 komentar: