Bubuk Kopi bag 6

Sore hari

Ketika ada hujan dan petir. Jendela cukup bening untuk melihat suasana di luar jendela. Cukup luas untuk mendengar suara gemuruh petir. Cukup luas untuk menangkap kilatan cahaya putih dengan kecepatan nol koma nol nol nol sekian. Beberapa jendela yang terbuka membuat air yang terhempas dan masuk ke dalam ruangan, memercik. Berpasang-pasang bangku dan meja tersusun rapi, seperti biasanya. Ruangan kosong, dengan lampu di langit-langit masih menyala terang.

Perkuliahan sudah usai sejak setengah jam yang lalu. Tata masih asik termangu kaku. Duduk di kursi dosen dengan menghadap jendela, membiarkan percikan air mengembuni kulit wajahnya. Tangan kanannya bertumpu di atas meja, menimang handphone. Sekali dua melihat layar dan lebih banyak menatap hujan.

Jam tangannya berdetak teratur. Jarum pendek berada diantara angka lima dan enam, jarum panjang berada di angka delapan. Perkuliahan selanjutnya dimulai jam 06.15. Ia masih punya banyak waktu, untuk apapun. Termasuk melamun dan memandangi hujan.

Adzan maghrib berkumandang dari kejauhan. Tata tidak bangkit karena merasa tidak sedang wajib melakukan sembahyang.

Waktu berlalu, kuliah malam segera di mulai. Mahasiswa satu persatu memasuki kelas.

Tata menengok jam tangannya sesekali. Kemudian membuka kuliah malam dengan salam.

*
Tata POV

Ada hujan, ada petir, andai ada kopi atau kamu. Pikiranku sudah jarang fokus beberapa saat ini. Ditambah dengan pesan singkat dari mamah tadi. Aku ingin pulang ke kost, minum kopi dan tidur meringkuk semalaman.

Jam 17.48, jadi bagaimana. Mahasiswa akan segera masuk. Kubaca pesan mamah lagi. Haruskah aku mengikuti apa kata mamah? Aku sungguh tidak ingin melakukannya. Lebih baik kubiarkan menguap semua pikiran ini sambil menikmati hujan.

Jam 18.20. Dadaku rasanya sesak sekali. Tapi semua mahasiswa sudah disini. Kubaca pesan mamah, lagi? Yah, reflek.

"Selamat sore semuanya, sebelumnya saya minta maaf karena saya tidak bisa menemani belajar kalian semua hari ini. Saya harap diskusi berjalan lancar dan saya tunggu laporannya minggu depan. Serahkan laporan ke akademik. Oke kiranya sekian saja, karena saya ada kepentingan mendadak"

Mahasiswa bergemuruh pelan, seperti biasa. Ada nada khawatir dan senang. Ku bereskan semua perlengkapanku. Kutatap layar handphone sekali lagi, pesan dari mamah.

'Narai di rumah sakit, segera pulang'

"Absen dengan NIM dan tanda tangan, serahkan sekaligus laporan"

***
Sekonyong-konyong, bagai ada tenaga gaib yang mendorong punggungnya dan meringankan kakinya melangkah. Pesan singkat dari Mamahnya telah membuyarkan konsentrasi mengajarnya sejak siang. Meski kelasnya harusnya selesai jam 21.00, akhirnya Tata memutuskan untuk meninggalkan kampus.

Jakarta-Bandung bukan jarak yang dekat. Tata memutuskan menempuhnya dengan mobil pribadinya, menyetir single. Malam itu juga tanpa mengganti baju dan melemparkan tas mengajar ke kost. Tata langsung menuju Bandung dari Jakarta.

Tiga jam, Tata sudah memasuki lorong-lorong RSUD Bandung yang masih ramai. Menelepon Mamah kemudian bertanya pada bagian resepsionis. Dengan mudah Tata dapat menemukan ruang dimana Narai dirawat. Melangkah tergesa.

***
Kuharap sesuatu terjadi, aku masih tak yakin aku berada disini. Seharusnya aku baru selesai mengajar dan pulang ke kost, menikmati kopi sambil bersantai atau semacamnya. Kuharap sesuatu terjadi saat aku membuka pintu ini.

Dan, tidak ada. Tidak ada siapa-siapa. Kecuali lelaki itu, dengan infus menjuntai dari pergelangan tangannya yang tampak kokoh. Ah, kokohpun nyatanya dia tidak berdaya. Haruskan aku masuk dan menyapanya? Bertanya bagaimana keadaannya?

Tidak ada siapa-siapa. Sejenak aku sadar, Narai memang tak punya siapa-siapa. Dia sebatang kara dengan istri yang tidak mencintainya, bahkan meninggalkannya ke ibukota. Aku.

Sumber gambar : google

Share this:

JOIN CONVERSATION

    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar