Wajah Tersembunyi dari Suatu Hari

Namaku Titania, hari ini aku menikah.

Umurku dua puluh enam tahun ketika hari ini terjadi. Dengan baju kebaya berwarna putih, lengkap dengan aksesorisnya. Kulit punggung tangan dengan ukiran henna berwarna merah dan oranye. Cat kuku merah maruun khas pengantin menghiasi ujung jari-jariku. Sepatu selop berwarna emas ku kenakan. Kakak menuntunku berjalan menuju sebuah kursi dibelakang Banara, calon suamiku.

Namaku Titania, hari ini aku menikah.

Upacara ijab qabul yang dilaksanakan di rumah hari ini sangat sederhana. Dihadiri keluarga besar dua belah pihak pengantin, saudara dekat dan tetangga sekitar rumahku. Upacara hari ini sederhana. Tapi, tidak dengan hatiku. Hatiku jauh lebih rumit daripada saat aku jatuh cinta pada lelaki itu, Banara. Hatiku jauh lebih rumit daripada saat dia beserta keluarganya datang ke rumah untuk melamarku. Hatiku jauh lebih rumit daripada saat ayah menanyaiku tentang pernikahan ini. Hatiku jauh lebih rumit daripada saat hari-hari menjelang hari ini, ketika kami membicarakan komitmen rumah tangga kami kelak. Hatiku jauh lebih rumit daripada ketika ibu Banara, memasangkan sebuah cincin melingkar di jari manisku. Lebih rumit segala-galanya.

Namaku Titania, dan hari ini aku menikah.

Segalanya tentang Banara lenyap begitu saja, melesat jauh dengan kecepatan nol koma sepersekian detik. Sungguh, tidak pernah kurasakan ada jatuh cinta yang lebih hebat yang mampu menandingi rumitnya hari ini.

Namaku Titania, dan hari ini aku menikah.

Ketika aku duduk di kursi, bisa kurasakan lembutnya tangan kakakku yang melepaskan genggaman dari tanganku. Kemudian jejak langkahnya meninggalkanku untuk mundur terdengar seperi gaung yang mendentamkan hatiku. Ia pasti duduk di barisan perempuan beserta adik dan ibu.

Acara ijab qabul dimulai, ijab qabul pernikahanku.

Tangan kedua priaku, ayah dan Banara. Bersalaman erat dan kuat. Aku mendengar janji itu diucapkan dihadapan ayah, dengan penuh percaya diri. Tapi sungguh, kepercayaan diri ayah jauh melampaui segalanya. Aku menyadari doa-doanya begitu kuat dan dahsyat, Ayah.

Penghulu memintaku bersalaman dengan suamiku. Demi mencium punggung tangan seseorang yang belum pernah bersentuhan. Sungguh, tidak ada yang lebih meyakinkan selain kulit kasar punggung tangan ayah. Tidak ada yang lebih lembut selain telapak tangan ibu yang penuh dengan luka dan lelah.

Kami berkeliling menyalami para tamu, suamiku bersalaman dengan tamu laki-laki dan aku menyalami tamu perempuan, meminta keberkahan restu.

Tentu saja, langkahku yang pertama kali tertuju pada ibu. Mencium punggung tangannya dan melepaskan air mata di pundaknya. Aku belum cukup berbakti menjadi putrimu, namun engkau membiarkanku dipilih seorang lelaki yang sangat baru dalam kehidupanku. Aku belum cukup membahagiakanmu tapi hari ini kau bilang kau sangat bahagia. Sungguhkah ibu? Aku milik suamiku sekarang. Sungguhkah kau bahagia melepaskan lagi satu permatamu untuk mengabdi kepada seorang lelaki asing. Aku tidak ingin percaya, tapi entah kenapa aku mempercayainya. Wajah cantiknya tak pernah menua dimataku, tetap tersenyum seperti itu, ibu.

Kakak perempuan, berdiri disebelah ibu. Mencium pipiku, memelukku erat. Oh sungguh, aku masih ingin kau marahi seperti dulu. Aku masih ingin kau jewer seperti dulu. Aku masih ingin kau teriaki seperti dulu. Aku masih ingin kau kejar-kejar karena selalu menjahilimu. Sekarang kau biarkan tanganku digenggam seorang lelaki asing yang kau sendiri tak tahu bagaimana ia. Sungguh sekali lagi aku tak ingin percaya.

Dan adikku, saudara paling muda di keluargaku. Ia memeluk erat-erat. Aku mencium kedua pipinya. Matanya berbinar-binar ceria. Aku segera menyusul, ujarnya. Ah, dik. Tentu saja kau harus menyusul. Agar kau tahu perasaan cinta yang luar biasa itu sungguh bersumber dari keluarga. Tidak ada keceriaan  dalam hari-hariku yang lebih riang selain berasal darimu.

Ayah, tidak ada yang bisa kukatakan. Hanya satu, bolehkan aku menjadi putri kecilmu lagi?. Ayah tertawa. Memelukku, memberi tahu, seperti ini kekuatan seorang ayah yang harus kau miliki. Ayah mengantarkanku pada suamiku. Aku tersenyum kecil memandang wajah lelaki asing itu.

Engkau tidak bisa seperti ayah, ibu, atau saudaraku. Tapi mereka percaya padamu, maka aku akan lebih percaya padamu.

#OneDayOnePost
#HariKetiga

Share this:

JOIN CONVERSATION

14 komentar:

  1. Saya sengaja membuat para perempuan baper,😂😂😂 yang sayang bapak ibuk ngacung, hehe

    BalasHapus
  2. Bagus

    Ais, kayaknya cuma aku lah cowok yang komentar di sini :v

    BalasHapus
  3. Baca ini mikirnya, apa besok kalau menikah rasanya gini ya? hemm..

    BalasHapus
  4. Saya juga berfikir bgtu mba ana, hehehe
    Bang zain boleh kok nongol.terus, suka malah, haha

    BalasHapus
  5. Aduh jadi keinget suasana pas nikah dulu. Sama banget mbak Rina. Iya, itu yg aku rasakan pas prosesi akad.

    BalasHapus
  6. Aduh ternyata tebakan saya ada yg bener nih, hehe

    BalasHapus
  7. Mbak Rina saya menikmati skali ceritanya di akhir kisah malah hampir nangis...terharu...

    BalasHapus
  8. Ini berdasarkan kisah nyata penulis ya?

    BalasHapus