Sebuah Kutukan di Wajahku


Perempuan, makhluk istimewa di muka bumi ini. Cantik, mereka terlahir dengan kecantikannya masing-masing. Setiap orang memiliki ide cantik menurut sudut pandang mereka sendiri, meskipun dalam hal ini segala sesuatu ada standarnya. Aku hanya tersenyum mendengar quote-quote tentang cantik itu. Bertebaran dimana-mana, di dunia nyata dan maya. Sungguh membosankan. Hari ini aku bertanya kepada seorang teman lelaki yang mendekatiku.

“Kenapa kau menyukaiku?”, wajah cantikku selalu tak ramah kepada siapapun.
“Karena kamu cantik”

BANG!!!

Aku harus tersenyum, berusaha tersipu dengan pujian itu. 

“Kalau aku tidak cantik, kamu pasti tidak menyukaiku”, ujarku dengan lembut, memancing kalimat pujian lain. 

“Tentu tidak, kamu cantik, baik, pintar. Oh bagaimana aku mengatakannya”, wajah pura-pura malu itu benar-benar menggoda perempuan manapun yang lembut hatinya. 

“Lalu nanti kalau aku sudah tidak cantik, suka marah-marah dan mulai dungu. Kamu pasti tidak menyukaiku lagi”, ujarku datar tanpa dosa. Lelaki di depanku tampak kesal, mungkin dia kehabisan akal.

“Kamu khawatir aku meninggalkanmu karena kamu mulai jelek, suka marah dan dungu?”. Wajahnya masih merona-rona, kupikir dia kehabisan akal untuk merayu dan ternyata tidak. Ck, haruskah kukeluarkan kalimat tajam untuk membuat wajahnya yang terlalu percaya diri itu mendekatiku?

“Tidak, kenapa aku khawatir?”, kulemparkan senyum tipis sok lugu padanya, kulanjutkan “kamu yang harusnya khawatir, aku cantik, baik dan pintar. Mungkin aku yang akan meninggalkanmu, bukannya kamu yang meninggalkanku”. Aku tersenyum lagi, kupamerkan sedikit barisan gigiku yang rapi. Lelaki itu tampak jengah. 

“Kau sangat percaya diri”, ujarnya kaku, aku tahu lelaki itu mulai kesal. Yang harus kulakukan adalah membuatnya semakin kesal padaku.

“Kau juga”, balasku “kau sangat percaya diri mendekatiku, apa menurutmu kau pantas untuku? Mungkin kita jodoh, sama-sama sangat percaya diri dan memiliki wajah yang sempurna, aku tidak bisa membayangkan bagaimana wajah anak-anak kita nanti”, aku tertawa kecil, seperti perempuan yang tersipu menahan malu.

Aku tahu lelaki itu mencoba menahan amarahnya, ia menegakkan posisi duduk yang tadinya condong ke arahku menjadi bersandar pada kursi. Ia menghela nafas dan mengeluarkannya dengan kesal.

“Baiklah aku mengerti”, ia kemudian melanjutkan menyuap makanannya, aku mengikutinya, memangnya apa yang bisa kulakukan selain itu.

***

“Sudah yang ke berapa, La?”, Diana, sahabatku menanyaiku dengan sinis. Aku hanya mengendikkan bahu. Aku tidak ingat, bukan. Aku memang sengaja tidak mengingatnya. Untuk apa? Mereka mengeluarkan argument yang smaa ketika kutanya dengan terus terang mengapa mereka menyukaiku. Kalimat sama yang terus kudengar sepanjang hidupku. Ketika masih kecil mungkin pujian itu menyenangkan didengar oleh kedua orangtuaku. Tapi semenjak beranjak puber, aku mulai mengerti devinisi cantik yang dilontarkan orang-orang itu berbeda, benar-benar berbeda.

“Apa mereka tidak memenuhi kualifikasimu?”, Tanya Diana penasaran, aku merebahkan tubuh di kasurnya. Diana teman sekaligus tetanggaku, jadi aku biasa tidak pulang dan menginap dirumahnya. Aku mengendikkan bahu sekali lagi.

“Kamu itu jadi perempuan jangan sok kecantikan, memang sih kamu cantik. Tapi nggak benar menolak semua laki-laki yang mendekatimu. Jangan terlalu sombong! Kamu pikir kalau kamu cantik kamu bebas memperlalukan mereka sesukamu?”.

“Sudahlah Di”, aku lelah sekali, kupejamkan mataku ingin rasanya segera terlelap saja.

“Suatu saat kamu akan diacuhkan oleh laki-laki kalau kamu bersikap seperti ini terus. Kamu tidak takut kalau tidak menikah?”, nada suara Diana mengancam.

“Memangnya mereka siapa? Semena-mena bersikap seolah-olah aku harus menerima salah satu dari mereka? Bukan soal kualifikasi, Di. Tapi aku tidak melihat ketulusan di mata mereka”. Aku bangkit, kuraih tas dan melangkah.

“Kamu marah, La?”, Diana berteriak. Aku harus berhenti di pintu.

“Tidak usah kaget, aku marah karena kamu mengkritikku. Tidak apa-apa, besok pasti sudah lupa. Aku pulang, Di”

Diana menganggapku terlalu pemilih. Memangnya apa salahku kalau aku pemilih. Bukankah aku cantik? Ahh sialan. Kalimat aku cantik benar-benar menjadi pembelaan terbesar terhadap diriku. Dirumah, aku masuk kamar dan menghapus make up tipis di wajahku. Sebenarnya tanpa make up aku sudah cantik, aku memakainya sebagai pembelaan utnuk merawatnya, yah! Merawat kecantikanku. Hidup ini benar-benar membosankan, terkadang aku berdoa kepada tuhan agar mengubah wajahku menjadi jelek saja, ah bukan! Mungkin berwajah standar paling tidak. Jam dinding masih menunjuk angka delapan, aku belum mengantuk dan sangat bosan. Dengan mengenakan piyama aku keluar rumah, mungkin membeli bakso di pinggir jalan. Kedua orangtuaku tidak bertanya, mereka tengah asyik menonton acara televisi.
Di salah satu perempatan kutemukan pedagang menjajakan bakso, dua lembar karpet tipis digelar di trotoar sebelah kiri gerobak bakso, dan sebuah meja panjang dengan kursi plastik berjajar di sisi lainnya. Aku memesan semangkuk bakso dan duduk di karpet. Ada seorang perempuan berjilbab duduk sendiri disana. Menunggu pesanan, sama sepertiku.

“Ini baksonya, mbak cantik”. 

BANG!!! Lagi-lagi, memang tidak tahu tempat, bahkan pedagang bakso pun dengan tidak sopannya menggodaku. Perempuan di depanku tertawa kecil tanpa suara, aku tahu ia menertawakanku karena setelahnya ia tersenyum padaku, senyum tulus yang menyimpan sebuah energi. Aku harus apa? Aku hanya bisa membalasnya dengan sedikit senyum kecut. Kami makan dengan berdiam-diam. Selama lima belas menit menelan sesuap demi sesuap bakso, kenikmatan jajanan khas ini menguar hilang entah kenapa. Beberapa pemuda yang lewat terus menggodaku, memanggil namaku dengan sebutan cantik dibelakangnya. Aku risihi namun aku diam saja.

“Syamila, cantik, Syamila”, begitu berulang-ulang, perempuan di depanku tertawa kecil setiap kali seseorang menegurku dengan aksen serupa. Aku menegurnya, si perempuan di depanku.

“Kenapa kamu menertawakanku? Kamu senang?”, ujarku datar, meski aku marah aku berusaha untuk tidak membuat sesorang yang tak kukenal membenciku. Dia hanya mengucapkan kata maaf dan segera kembali kepada mangkuknya.

“Mbak Syamila memang cantik kok”, ujarnya tiba-tiba, cendokku yang hampir mencapai mulut tertahan, aku menatapnya dan meletakkan cendokku kembali dalam mangkuk.

“Lalu?”

“Bukannya perempuan cantik itu, kalau dipuji cantik harusnya senang. Yang tidak cantik saja senang dibohongi kalau cantik, apalagi yang sungguhan cantik”

“Tidak, aku risih mendengar kalimat itu bertebaran dimana-mana di sekelilingku. Kau tidak tahu betapa beratnya menjadi perempuan dengan wajah cantik. Ketika aku tersenyum mereka menyebutku gampangan. Ketika aku tak peduli mereka menyebutku sombong. Ketika aku berdandan mereka menyebutku tentu saja cantik karena berdandan. Ketika aku tidak berdandan mereka menyebutku tentu saja, sudah cantik kalau berdandan mubadir bedaknya. Banyak lelaki yang mendekatiku. Aku menangkap maksud mereka hanya karena aku cantik dan pintar, cukup pantas untuk dibawa pergi berjalan dan dipamerkan kepada teman-temannya. Rasanya semacam mannequin. Kamu tahu? Kecantikan ini, semacam kutukan di wajahku. menghantuiku kemana-mana. Menyiksaku kemanapun aku melangkah. Aku harus membuat tameng sekuat mungkin untuk pertahanan diriku. Dunia ini penuh dengan kejahatan. Kau tahu? Aku kadang berdoa pada tuhan agar merubah wajahku menjadi jelek saja, atau paling tidak berwajah standar.”
Perempuan itu sepertinya tahu aku tersinggung, meskipun aku bicara banyak namun dengan nada rendah.

“Mbak Syamila”

“Emm, kalau kau mau? Aku bahkan suka kalau harus bertukar wajah denganmu”, aku tertawa, menertawakan ketidak mungkinan itu sendiri. 

“Banyak perempuan yang ingin tampil cantik dan berusaha sekali mendapatkannya, tapi mbak sudah dikaruniai wajah cantik dan ingin berubah jadi jelek. Aku baru mendengarnya sekali”, perempuan itu tertawa “Maaf mbak”, lanjutnya.

“Siapa namamu? Jangan bilang ini karunia, bagaimana bisa disebut karunia sementara aku tersiksa dan selalu curiga terhadap semua orang karena aku memilikinya, ini kutukan”. Tegasku.

“Laksmi”

“Ingat itu Laksmi, ini kutukan, bukan karunia”, perempuan itu mengangguk kecil, kupikir dia mengerti dan sejalan dengan pendapatku.

“Maaf mbak, kalau boleh saya berkomentar?”, ujarnya. Aku mengangguk.

“Kecantikan mbak itu karunia, karunia yang luar biasa. Hanya saja mbak belum bisa menjaganya. Itu yang membuat mbak merasa terkutuk, merasa timpang apa yang ada di pikiran mbak dan apa yang dipikirkan orang-orang. Mbak harus menjaganya. Segala sesuatu yang tuhan berikan itu, ada kalanya menjadi karunia da nada kalanya menjadi cobaan. Kalau mbak mau lulus dari cobaan itu, maka jagalah kecantikan mbak”

“Maksud kamu?”, Laksmi tersenyum, mengambil sesuatu dari tas nya.

“Sebenarnya saya sangat menyukai ini, saya baru membelinya tadi. Harganya tidak mahal sih, Tapi bertemu dengan mbak Syamila membuat saya merasa mungkin merelakannya sebagai hadiah buat mbak Syamila lebih berkah”, Laksmi mengulurkan bungkusan tas kertas padaku. “Itu kerudung mbak, mungkin awalnya sangat berat mengenakannya. Berbeda dengan saya yang sudah sejak kecil berkerudung. Tapi sungguh, kalau mbak mau menjaga kecantikan mbak itu. Tidak akan ada laki-laki yang menggoda mbak semena-mena. Memperlakukan mbak semena-mena. Kerudung itu akan menjaganya dari pandangan mata dan fikiran orang jahat disekitar mbak. Bahkan hati mbak juga akan terjaga dari kecurigaan terhadap orang-orang di sekeliling mbak”, dia berbiacara datar dan tenang.

“Sungguh?”, aku tidak yakin. Aku masih curiga Laksmi sedang mencemoohku. Tapi dia tersenyum lebar dan mengangguk mantap. Matanya berbinar-binar menatapku. Kugenggam erat tas kertas yang masih tertutup pemberian Laksmi.

Semenjak aku memahami bahwa definisi cantik itu berbeda, ini kali pertama aku percaya kata cantik itu ada. Dan diucapkan oleh perempuan cantik dihadapanku, cantik dengan kerudungnya dan senyum tulusnya. Mungkin seharusnya aku seperti itu sejak dulu?. Tidak!, kata cantik untuk malam ini, dari Laksmi, sudah lebih dari cukup. Aku akan membuat definisi cantikku sendiri.

Share this:

JOIN CONVERSATION

8 komentar: