Lelakiku dan secangkir kopi

Danu tahu benar kebiasaan Tata. Ketika sudah duduk dengan menghadap notebook, pasti ada segelas besar kopi panas di sekitarnya, entah di lantai atau di meja.

Seperti sore ini, sepulang kerja Danu mampir ke kontrakan Tata. Dan ditemukannya gadis itu duduk santai di lantai ruang tamu memangku notebook berwarna hijau lumut, tampak ia masih mengenakan baju yang dipakainya bekerja sehari ini. Segelas kopi yang masih mengepul baru saja diangkatnya.

Tanpa beruluk salam Danu masuk dan duduk santai di kursi. Tata tak pernah repot membuatkan minuman untuk tamunya yang satu ini, jika haus ia akan pergi ke dapur membuat teh hangat atau sekedar air putih rebusan sendiri.

"Mau kopi?", Tata mengangkat gelasnya, Danu memnggeleng dengan ekspresi datar.

Seingatnya, Tata pernah membuatkan kopi untuk Danu sekali. Dengan ukuran satu cendok teh kopi bubuk hitam, satu cendok makan gula pasir dan dua cendok makan susu putih. Danu masih berteriak pahit setelah tegukan pertama. Pada akhirnya Tata menghabiskan segelas kopi tersebut setelah ditambah dua cendok teh kopi, lagi.

"Sampai kapan kamu mau terus ngopi?", pertanyaan yang sangat biasa. Danu tahu Tata menderita magh akut dan dokter berkali-kali menganjurkannya berhenti minum kopi. Hasilnya, tak pernah dihiraukan.

"Sampai aku mati", ujar Tata santai.

"Kamu lebih senang mati daripada berhenti minum kopi?", dan Tata hanya mengangguk, melanjutkan tarian jari diatas keyboard notebook.

Percakapan itu terjadi setidaknya sepuluh kali dalam sebulan. Dengan jawaban Tata yang tak pernah berubah.

"Tinggalkan kopi, kau harus lebih sehat, kau ini masih muda, belum menikah, kau dosen, mahasiswamu membutuhkanmu, kau mau mati karena kopi? Kupikir titel S2 mu itu mengajarimu menjaga kesehatan, sekarang kau menempuh kuliah demi gelar profesor? Dasar!".

"Jangan melarangku minum kopi, aku akan lebih cepat mati jika tak minum kopi"

"Kamu sakit Ta"

Tata jengah mendengar rengekan lelaki itu. Ia mengehntikan ketikannya, menatap wajah Danu beberapa saat, kemudian berujar.

"Aku tahu, mas". Dengan sebuah senyum di wajah, dimana senyum itu membuat Danu geram, tak kuasa mengatakan apa-apa lagi.

Aku tahu aku sakit, menikmati kopi ini sama seperti aku menikmati perasaanku terhadapmu, Mas. Kepahitan yang menjagaku tetap sadar. Menurutmu cinta itu peduli dengan titelku? Tidak, jangan harap.

"Sudah sore, pulanglah. Istrimu pasti menunggumu".

Danu bangkit, menstater sepeda motornya, dan pergi.

Ya, kau seperti itu. Seperti kopi yang pahit, mengalir kemudian sensasinya pergi. Dan endapanmu, kering di dasar gelas, berakhir pada muaranya, istrimu.

Minggu, 17 Januari 2015
Sajak Sajak Kopi

#ODOP

Share this:

JOIN CONVERSATION

12 komentar:

  1. Wow... Ujungnya amazing..
    Nggak nyangka..
    Analagi kopinya juga keren..

    BalasHapus
  2. Terperangah aku membaca kutipan di akhir cerita. >.<

    BalasHapus
  3. Mantab..
    Kiraind Danu suaminya Tata...

    BalasHapus
  4. Mantab..
    Kiraind Danu suaminya Tata...

    BalasHapus
  5. Apa cukup menarik untuk dilanjutkan??? Ahaha

    BalasHapus
  6. Mungkin bisa ya mba zahida, jadi cerbung. Jehehe

    BalasHapus
  7. Ditunggu kelanjutannya mbak, hehe

    BalasHapus
  8. Bang marzuqi, kelanjutannya di post selanjutnya dg judul JENDELA, silahkan ngintip n krisan ya, hehe, makasiiih

    BalasHapus
  9. Mantep banget tulisannya,,, \ :D / keren banget, mbak Rinala.. saya pas bacanya, fokus banget, tidak bertele-tele, keren dah pokoknya.. saya beri jempol deh (y)... salam kenal, mbak. dari Capsule-Man... \ :v /

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga capsule-man... thaks udah mampir n bawain oleh2 yach :)

      Hapus