Sepuluh Soal PR Setiap Hari

Cuaca cerah hari ini membuatku kepanasan. Ya, bagaimana tidak kepanasan. Hatiku juga sedang marah, tepatnya kesal. Ada-ada saja yang terjadi dan menurutku sangat tidak masuk akal.

Aku dibuat marah oleh :

Kemarin anak-anak baru saja kuberi peraturan baru tentang PR mereka. Ya! Untuk ukuran anak SD, PR adalah jadwal wajib yang harus kuberikan kepada anak-anak setiap hari. Anak-anak jaman sekarang, jika tidak ada pekerjaan rumah berupa PR mereka tidak akan belajar sama sekali. Bagaimana tidak, ketika masa kecilku yang mana acara televisi tidak sebanyak sekarang, dan permainan yang kami lakukan adalah bermain di luar rumah saja. Begitupun semasa dulu aku dan teman-temanku malas belajar ketika tidak ada PR. Lalu bagaimana dengan anak jaman sekarang. Permainan mereka bukan sekedar permainan fisik. Namun juga acara televisi yang diputar 24 jam nonstop. Ditambah lagi, permainan digital telah marak dimana-mana, bahkan harganya sangat terjangkau. Memiliki PS3, ponsel pintar maupun tablet dengan beragam permainan disajikan bukan menjadi hal elite dan istimewa lagi.

Dahulu hanya anak-anak pejabat desa dan para juragan setempat saja yang memiliki permainan-permainan wah tersebut. Tapi lihatlah sekarang, bahkan orang desa kalangan menengah kebawah saja mampu membeli mesin-mesin modern semacam itu.

Ditambah lagi, orang tua mereka sibuk bekerja dan kurang mengawasi kegiatan anak-anak mereka dirumah. Mereka hanya dititipkan kepada nenek atau kakek, kebiasaan orang desa semacam itu , belum hilang. Apalagi kebanyakan kakek nenek bersikap memanjakan dan mengiyakan saja apa kemauan cucu mereka, bukan justru mendisiplinkan ketika orang tua mereka tidak ada. Ah, kasihan sekali orang tua-tua itu.

Nah itu dia masalah dasarnya, kalau sebagai guru aku tidak memberikan mereka PR setiap hari. Mereka akan keluyuran sepanjang sore, atau bermain PS sepanjang hari, atau hanya duduk melompong di depan televisi. Oh, sungguh masa kanak-kanak yang tidak terkontrol.

Bukan! Aku bukan bermaksud mengekang mereka untuk belajar dan terus belajar. Kupikir kalau mereka tidak belajar lalu mereka tidak bisa sukses begitu? Bukan. Itu memang salah satu tujuan namun menjadi urutan ke sekian. Mereka butuh penyeimbang sememtara otak mereka terus diracuni acara televisi yang tidak mendidik, gadget yang menghabiskan waktu dan aku sungguh lebih suka mereka bermain layang-layang, memanjat pohon, menangkap belalang, melompat di pematang sawah atau bermain di pasir dan tanah daripada melotot pada akting selebriti masa kini. Sungguh!

Karena PR itulah, aku hari ini kesal bukan main. Kemarin anak-anak kuberi sebuah peraturan baru yaitu.

"Mulai besok, yang PRnya tidak dikerjakan, atau ketinggalan dirumah. Menggantikan yang tugas piket membersihkan kelas. Bagaimana, anak-anak setuju?"

"Setujuuuuuu", yap! Mereka berteriak kompak saat itu juga. Dan aku segera menuliskan peraturan itu di nomor berikutnya di kertas peraturan yang tertempel di dinding. Berada di bawah beberapa peraturan umum lainnya. Aku melakukan hal itu sebab beberapa anak yang kedisiplinannya memang kurang, seringkali tidak membawa PR dan mengatakan mereka meninggalkannya dirumah. Dan ketika buku PR dibawa di hari berikutnya ternyata memang PR tidak dikerjakan. Ups, memhuatku kesal. Aku bertanya-tanya apakah sebegitu tidak perhatiankah orang tua pada anak? Nah itu solusinya, aku menerapkan peraturan baru dan semua siswa setuju. Ketika ada yang melanggar maka satu kelas sudah tahu konsekwensinya.

Sedangkan hari ini, seorang anak yang sudah kebiasaan tidak membawa PR melupakan PRnya lagi. Tanpa meminta ijin dia kembali ke rumah yang mana rumahnya cukup jauh dari sekolah karena harus naik angkot dengan ongkos seribu rupiah sekali jalan. Aku membiarkannya saja pulang, selain aku berusaha menerapkan disiplin agar teman-temannya dapat melihat contoh nyata, perasaanku juga sedikit kesal. Karena saat pelajaran matematika hari yang lalu ia dapat mengerjakan di sekolah dengan nilai yang cukup bagus, yaitu 8. Sementara ketika pulang dan kuberi PR ia tidak mengerjakannya dan ia kerjakan pagi-pagi di kelas. Dan nilainya? Nol besar, semua jawabannya salah.

Anak itu kembali ke kelas setelah setengah jam, karena sekolah kami terletak di desa dan tidak ada gerbangnya maka ia bisa masuk kelas tanpa teguran satpam. PRnya diserahkan kepadaku karena PR siswa lainnya di kelas sudah kukoreksi. Tulisannya acak-acakan, dan BANG! nilainya nol besar lagi. Kuduga ia mengerjakannya barusaja? Terburu-buru?

Setelah anak-anak pulang, petugas piket memang tidak melaksanakan tugasnya karena ada anak satu tadi yang setelah kutanyai dia mengaku mengerjakan PRnya setelah pamit pulang tadi pagi, kusuruhlah dia piket.

Pukul tiga sore.

Aku sudah dirumah dan bermaksud merebahkan tubuhku mendinginkan keringat sebelum mandi. Handphone ku bergetar dan bernyanyi, ada panggilan masuk dari sebuah nomor yang belum tersimpan.

"Assalamualaikum, ini bu Rina wali kelas dua ya? Saya Vivi bu, ibunya Rudi"

"Wa alaikumussalam, iya bu saya sendiri. Ada yang bisa dibantu bu? Ada apa ya?"

"Begini bu, saya hanya mau bilang tolong kalau anak saya bukunya tertinggal jangan menyuruh dia pulang ke rumah bu. Suruh saja menulis dengan buku lainnya"

"Maaf bu, mungkin tindakan saya salah menurut ibu. Tapi peraturan itu sudah kesepakatan saya dengan anak-anak"

"Tapi kan anak saya itu masih kecil, baru kelas dua, dan jarak ke rumah juga lumayan jauh, masih masuk gang lagi bu"

"Maaf bu, jadi maksud ibu kalau anak yang rumahnya jauh harus diberi dispensasi begitu? Hal itu nanti bisa membuat teman-temannya protes, karena ada yang rumahnya jauh dan ada yang dekat. Saya bisa menjadi tidak adil, meskipun rumahnya jauh atau dekat saya tidak mempermasalahkan kalau anak-anak mau mengambil bukunya dirumah, karena sudah persetujuan satu kelas"

"Kan masih ada buku lain bu?!"
Ah, ibu wali murid ini mulai marah.

"Kalau untuk buku pelajaran saya bolehkan bu, asalkan nanti catatannya di tulis kembali di buku yang pelajarannya sesuai, kan kelas dua sudah memakai buku berbeda untuk setiap mata pajaran. Tapi, karena itu buku PR maka setiap hari harus dibawa, dan yang tidak membawa buku PR mendapat hukuman menggantikan tugas anak-anak yang piket. Begitu bu"
Aku masih berusaha santun, bagaimana mungkin aku marah-marah pada walimurid.

"Jadi karena anak saya tidak mengerjakan PR ibu suruh piket? Itu makanya dia pulang terlambat tidak seperti biasanya?"

"Betul bu"

"Lain kali kalau anak saya PRnya ketinggalan telepon saya saja bu, biar saya yang mengantarkannya ke sekolah"

"Maaf bu, tujuan saya disini adalah untuk mendisiplinkan siswa. Kalau ibu mau membantu boleh, tentu saja. Namun, silahkan ibu disiplinkan anak ibu untuk mengerjakan PR setiap hari dan membantu dia disiplin mengatur jadwal nya setiap hari. Kalau ibu bisa membuat anak disiplin pulang tepat waktu, kenapa ibu tidak bisa membuat anak ibu disiplin mengerjakan PRnya?"

"Tapi ibu guru sudah keterlaluan"

"Maaf bu, silahkan anda menyebut saya keterlaluan. Saya hanya ingin anak anda disiplin. Bukankah lebih keterlaluan kalau ibunya sendiri tidak mendukung program sekolah yang bahkan anaknya sendiri sudah setuju dengan peraturannya. Tolong ya bu? Anak ibu dibantu mengerjakan PR setiap hari, tidak perlu di beritahu jawabannya, ibu hanya cukup menunggui. Dan kita lihat nanti, kalau sudah begitu, anak ibu tidak akan pernah mendapat hukuman lagi, terlebih dia bisa memenuhi tugasnya, mendapat nilai yang baik dan tidak di olok-olok oleh teman-temannya. Begitu bu, mohon kerjasamanya"

"Baikah!"jawabnya ketus "sebenarnya saya sibuk untuk sekedar mengecek PR anak saya, maaf bu mengganggu waktunya, selamat sore, assalamualaikum"

"Wa alaikum..." Belum selesai aku menjawab salam, sudah terdengar suara hubungan telepon diputus, "salam" jawabku sendiri.

Wah, sore ini benar-benar suram. Bu guru oh bu guru. Semuanya serba salah ya sekarang. Anak-anak tidak boleh dihukum kalau mereka tidak mengerjakan PR, tidak boleh dihukum kalau tidak disiplin, dibiarkan saja berkeliaran tanpa pengawasan orang tua, dan diberi PR sepuluh soal saja setiap hari bisa menimbulkan masalah. Lalu bagaimana, kalau orang tua saja tidak pernah menengok tas anak-anak mereka, mereka tidak tahu apa yang anak-anak lakukan di sekolah.

Yah, biarkan saja seperti itu. Mungkin kelak sepuluh soal PR setiap hari itu, akan dimengerti, suatu saat nanti. Hanya untuk membuat mereka disiplin dan bertanggung jawab terhadap kewajiban mereka. Hanya salah satu cara, itu saja. Aku tetap akan memberi PR sepuluh soal setiap hari.

#OneDayOnePost
#HariKedua

Share this:

JOIN CONVERSATION

6 komentar:

  1. Setuju banget Mbak Rinala...saya jg berprofesi sbg pendidik. Tak lupa, setiap akhir pelajaran saya kasih PR. Agar saya bisa mengetahui mana yang benar-benar mengerjakan di rumah atau baru dikerjakan di sekolah (hasilnya pasti beda)

    BalasHapus
  2. Betul mba, kadang2 niat kita baik hanya saja kurang komunikasi dg orangtua, saya juga sadar betul kalau kejadian spt itu bisa saja terjadi dan saya juga turut salah

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Hahaha, ciyeh yang masih abang abang ngeledekin

    BalasHapus
  5. Kak Rina kasih sepuluh soal pr setiap hari.
    Bang Syaiha kasih tantangan setiap minggu, pr satu post setiap hari (senin-jumat).

    Dua shifu yang luarbiasa.

    BalasHapus