OPALO # 4
Aku memanggilnya dengan nama lengkap. Dia juga memanggilku lengkap, tanpa tambahan 'dik'.
Hari-hariku bersaudara dengannya biasa saja selama kurang lebih 16 tahun. Semuanya mulai menarik ketika Ibu membuka rahasia sejarah hidup Opalo. Aku sendiri terkejut, namun tentu saja tidak bagi Gema.
Opalo kelas 3 SMU, dan aku kelas 1 SMU. Terbukanya sejarah Opalo 18 tahun silam, awalnya juga tidak lantas membuatku percaya. Karena Opalo menangis berhari-hari, seperti menuntut keadilan. Ia juga ngambek tidak mau sekolah selama seminggu. Pada waktu seminggu itulah, Ibu memberikan bukti-bukti bahwa Opalo memang bukan anak ibu.
Ibu berpesan padaku untuk menjaga perasaan Opalo karena kami bukan saudara kandung. Tapi, bagaimana bisa. Yang aku tahu Opalo adalah kakakku. Jadi, meski kenyataannya berbeda, hatiku sebagai seorang adik kepadanya tidak berubah.
Ibu memperlihatkan surat-surat yang Ibu terima. Buku tabungan di Bank BRI atas nama kami. Ibu juga menunjukkan kalung milik Gema, yang tidak dipakai. Ibu menunjukkan buku catatan penyewa kamar sejak Opalo datang. Ibu juga menunjukkan barang-barang orangtuanya di kamar kost. Sampai saat itu nama penyewanya tetap tertulis nama orang tua Opalo.
Aku lupa, nama mereka adalah Steven dan Maria.
Semua bukti-bukti cocok. Meski begitu Opalo masih belum sepenuhnya menerima. Ia terkadang murung, hampir setiap hari. Sejak Agustus 2015 hingga desember 2015 menjelang Ulangan Umum.
Lalu pada hari Minggu, bulan Januari 2016, saat liburan Ulangan Semester I menginjak hari terakhir. Opalo harus bertemu dokter matanya.
Dokter mata yang praktik hari Minggu khusus melayani Opalo menurutku juga seorang dokter spesial. Maksudku, spesial karena hari Minggu seorang dokter tidak seharusnya bertugas. Spesial karena, selama aku ikut Ibu mengantar Opalo ke dokter, hanya dokter ini yang melayani. Namanya dokter Muhammad, seorang muslim.
Aku lalu menghitung berapa usia dokter ini jika kira-kira ia lulus kedokteran saat berusia 26-28 tahun. Dan beliau sudah menangani Opalo hingga usia Opalo sekarang 18 tahun. Totalnya 44 tahun.
Hari Minggu kali ini, Opalo tidak mau diantar Ibu, ia hanya mengajakku. Menurutku Opalo masih marah kepada Ibu. Kami mengendarai sepeda motor Scoopy, menuju RSI Sultan Agung. Opalo sudah memiliki SIM, jadi Ibu mengijinkan.
Hari Minggu inilah, aku mulai menyelidiki ada banyak hal apa di sisi lain kehidupan Opalo.
Kami sampai di RSI Sultan Agung jam 10.10 WIB. Dahulu aku tak perduli, tapi sekarang aku mengamati. Para perawat yang melihat kami menuju klinik mata tampak tak peduli. Orang-orang di RSI sepertinya sibuk sendiri-sendiri.
Kami langsung bertemu dengan dokter Muhammad. Dokter menyuruhku menunggu di luar, aku meminta ijin ikut masuk. Opalo mengijinkan.
"Sekarang kan sudah trend, kamu mau ganti warna?", tanya dokter Muhammad yang sedang memeriksa kondisi mata Opalo dengan senter kecil. Opalo duduk setengah berbaring di kursi yang sandarannya miring, sering terlihat di klinik dokter gigi juga, aku tidak tahu apa nama kursi itu. Opalo menggeleng, menolak tawaran dokter.
"Iya, memang ini untuk pengobatan, apa Anita mau juga?", tanya dokter padaku. Aku melihat dokter Muhammad.
"Apa, pak dokter?"
"Memakai lensa kontak seperti Opalo?"
"Emh, tidak. Sepertinya tidak nyaman", jawabku. Dokter Muhammad tertawa kecil, lalu menyiapkan segala sesuatu. Semacam kotak yang bisa mengeluarkan cahaya laser merah dari dalamnya. Opalo menegakkan duduknya, melepas lensa kontak dan meletakkannya di wadah yang sudah tersedia di meja. Meja kecil itu tersambung langsung dengan kursi, berisi berbagai peralatan.
Opalo kembali duduk bersandar. Aku melihat proses pengobatan pada mata Opalo, ada sebuah cahaya merah keluar dari kotak mesin yang tergantung di atas wajah Opalo, gadis itu menghadap langit-langit. Cahaya merah masuk ke bola mata Opalo, dua detik lalu padam. Opalo mengerjap, prosesi menyinari mata Opalo dilakukan tiga kali selama masing-masing dua detik.
Lalu, dokter memberi tetes mata, mengolesi kelopaknya dengan salep, menyuruhnya memejamkan mata, lalu matanya yang sudah terpejam itu ditutup kapas.
Selagi menunggu kapasnya kembali dibuka, dokter memeriksa suhu tubuhnya, detak jantung dan tekanan darah. Mengambil darah dari lipatan siku Opalo dengan alat suntik sebanyak 2 kali, dari lengan kanan dan kiri. Darah Opalo dimasukkan ke dalam botol-botol putih sebanyak enam bagian. Botol-botol itu berlabel. Aku seperti menonton film barat, saat orang-orang praktik fisika.
Botol-botol itu dimasukkan ke dalam sebuah mesin, tampak seperti microwave bagiku.
Lima belas menit berlalu saat aku memperhatikan kegiatan dokter Muhammad dan seorang perawatnya. Dokter kembali kepada Opalo dan membuka kapasnya. Membersihkan salep dengan cairan entah apa. Menyuruh Opalo duduk tegak lalu membenamkan mata Opalo pada sebuah wadah berisi air, terlihat seperti air, entah obat atau apa.
Aku memiringkan kepalaku berusaha mencari tahu wajah Opalo, apakah mungkin rasanya sakit. Saat Opalo menegakkan kepalanya kembali lalu mengusap wajahnya dengan handuk, ia melihatku lalu tersenyum.
Ya, aku melihat sesuatu yang beda di wajahnya. Matanya berbeda dengan yang biasa kulihat. Entah reflek atau bagaimana, tetapi aku ingat betul detail kejadian itu. Dimana dokter langsung menarik wajah Opalo agar berpaling dariku.
Aku menduga, Mata Opalo gangguan?
Aish.. I am Waiting for the next chapter sista.. <3
BalasHapusGa sabar... Ga sabar..
BalasHapuswihhh matanya kenapaaa
BalasHapusKenapa matanya
BalasHapusKenapa matanya
BalasHapusWahh aku juga penasaran sama matanya..😮
BalasHapusmatanya kenapa?
BalasHapus