OPALO # 3

Kali ini mengenai surat kedua orang tua OPALO.

Saat OPALO berulang tahun ke sepuluh, itu artinya aku sudah berusia delapan setengah tahun. Opalo kelas empat SD, aku kelas dua SD, dan Gema kelas 2 SMU.

Surat itu datang dari seorang petani, dari Demak.

Petani ini, mengaku didatangi dua orang asing dari luar negeri. Ibu memastikan bahwa mereka adalah orang tua Opalo. Petani ini datang bersama anak lelakinya, seusia Gema. Anak lelaki ini bisa berbahasa Indonesia dengan lancar, sementara ayahnya tidak.

Mereka mengantarkan surat, dan sebuah tas berisi uang. Petani ini mengaku di beri uang untuk membayar ongkos bus dan selebihnya untuk makan di perjalanan, meski sisa dari jumlah uang yang dipakai untuk menyampaikan surat saja, cukup banyak.

Ibu mengucapkan terimakasih, petani dan anaknya ini juga tidak berlama-lama di rumah kami.

Ada dua amplop kecil di dalam sebuah amplop besar. Dua amplop kecil itu, satu untuk ibu dan satu untuk Opalo.

***
Begini isi surat untuk ibuku.

Salam hormat ibu Sri Sujiarti, semoga kalian semua dalam keberkahan tuhan.

Surat ini adalah surat yang kesekian kalinya kami tulis, namun yang kedua kalinya kami harap semoga sampai di tanganmu.

Kami tiga kali bolak balik Indonesia-Jerman dalam sembilan tahun ini. Akan tetapi kondisi tidak memungkinkan untuk datang ke rumah ibu. Kami sedang terus di intai oleh aparat TNI dan Polisi Indonesia.

Tidak banyak yang bisa kami berikan untuk biaya hidup Opalo. Kelak, jika kami punya lebih, kami akan memberi anda ganti yang setimpal. Meski rasa terimakasih kami atas kesediaan ibu mengasuh Opalo, tidak akan terbalas dengan apapun.

Kami mengirimkan surat untuk Opalo, tolong berikan surat itu kepadanya sekiranya ia sudah dewasa dan bisa menerima kenyataan bahwa dia bukan anak ibu. Kami mungkin berdosa besar meninggalkannya kepada ibu, tapi kami juga ingin dia tahu siapa orang tuanya.

Sesegera mungkin kami akan memberi kabar. Semoga tidak terlalu lama.

Salam sejahtera.

***
Surat kedua datang ketika Opalo berusia 15 tahun. Opalo kelas 3 SMP dan aku kelas 1 SMP.

Surat ini datang dari seorang wisatawan asal Inggris. Mungkin ceritanya sama, orang tuanya berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Wisatawan ini diantar oleh tukang becak mencari kost an kami. Dia tidak bisa bahasa Indonesia. Hanya memberikan surat itu lalu pergi.

Ini isi suratnya, kutulis langsung tanpa salam pembuka.

Ibu Sri Sujiarti, saya ibu Opalo menulis surat ini di bawah gerbang masuk bandara di ibukota negara. Kami berada di Inggris sekarang.

Ibu, jaman ini sudah semakin modern, tidakkah ibu ingin memiliki sebuah telepon rumah sendiri? Kami mungkin bisa menghubungi anda melalui saluran darurat.

Lima tahun berlalu, dan kami belum bisa bertemu kembali dengan Opalo. Ajaklah ia ke studio foto. Berikan foto itu kepada dokter mata yang menanganinya.

Terimakasih masih bersedia menjaga anak kami. Kami berjanji, suatu saat kami akan kembali ke Indonesia dalam keadaan terang-terangan. Tidak sembunyi-semhunyi seperti ini.

Setelah surat ini, kami mungkin akan semakin lama tidak memberi kabar. Akan tetapi, apabila ibu membutuhkan dana untuk kebutuhan Opalo, temuilah dokter mata Opalo. Saya akan menghubunginya langsung.

Terimakasih dan salam sejahtera.

***

Surat kedua itu datang di tahun 2011. Entah kenapa kami adalah salah satu diantara orang kota yang belum memiliki saluran telepon sendiri.

Ibu berembug dengan ayah lagi mengenai kedatangan surat ke tiga ini. Ayah setuju saja memasang telepon rumah. Selain mudah menghubungi siapa saja, juga akan mudah dihubungi oleh orang lain.

Aku masih SMP, begitu juga Opalo. Tahun 2011 teknologi handphone mulai mewabah. Akan tetapi kami sekeluarga tidak punya satupun. Ayah dan Ibu adalah tipe orang kuno. Bahkan Gema yang sudah masuk perguruan tinggi pun tidak memiliki handphone.

***

Kuberitahu, Opalo yang gadis blasteran itu, hidup di antara keluarga kami sejak kecil. Menurutku ia lupa bahwa orang tuanya bukan ayah dan ibuku. Dia fasih berbahasa jawa seperti orang Semarang kebanyakan. Sama sepertiku, sedikit banyak ia tahu bahasa krama inggil, meski tidak ahli. Logat bicaranya juga kental seperti orang jawa. Jika tidak tahu sejarah hiudupnya, seseorang mungkin mengira dia anak orang jawa.

Semakin besar ia semakin mirip orang Jawa. Matanya bulat besar, kulitnya cokelat, rambutnya hitam lurus di atas dan mengombak di bawah.

Opalo bahkan belajar agama Islam. Ibu mengatakan, tidak tahu harus memberi pengertian bagaimana mengenai agamanya. Ia anak yang lahir dari orang tua non muslim. Tentu Ibu tahu, dulunya kedua orang tua Opalo memang rajin ke gereja. Gereja Favorit mereka adalah gereja Blenduk di kota lama, meski jauh dari pusat kota.

Jadi, Semarang yang semakin maju membuat usaha kost keluarga kami juga mendapat kemajuan. Sekarang kuberitahu, kami adalah warga daerah Simpang Lima.

Jika kau tahu ada tugu dengan lampu yang warnanya berubah-rubah ketika malam, dekat kantor TELKOMSEL. Maka bisa dikatakan rumah serta kost kami berada di gang belakang kantor TELKOMSEL. Sebenarnya tepat di belakang kantor TELKOMSEL masih ada beberapa gedung lagi. Tapi kukatakan seperti itu agar lebih mudah dipahami.

Itulah isi surat orang tua Opalo. Dan aku masih punya banyak cerita mengenai Opalo, mengenai kami. Kini aku sering berfikir bagaimana kehidupan yang dijalani oleh kedua orang tua Opalo. Kelihatannya bukan kehidupan orang biasa sepertu kami.

Nanti kuberitahu banyak hal lagi mengenai gadis blasteran itu.

##
Foto : google

Share this:

JOIN CONVERSATION

8 komentar:

  1. mantap mba, kasian si Opalo. Arti namanya apa itu mba el???

    BalasHapus
    Balasan
    1. di episode selanjutnya mas, nanti ditunggu aja obat penasaran anda, hehe

      Hapus
  2. Ish..kaya nyata kak..lanjuutt

    BalasHapus
  3. Ini cerita bersambung ya? Kurang update nih sama tulisan sebelumnya. Semoga dimaafkan

    BalasHapus
  4. Ini cerita bersambung ya? Kurang update nih sama tulisan sebelumnya. Semoga dimaafkan

    BalasHapus