Bubuk Kopi bag 11
Pintu soji kamar Narai terbuka, ini masih subuh. Aku terbangun karena mendengar suara adzan yang terlampau nyaring. Sepi, senyap, tidak ada suara kendaraan lewat. Suasana subuh disini berbeda jauh dengan Jakarta. Di Jakarta aku bisa tidur nyenyak meski deru kendaraan lalu lalang. Tapi disini aku justru terjaga karena terlalu sepi.
Dimana lelaki itu?
Ah, sebaiknya aku shalat subuh saja dulu.
Air dari keran kamar mandi sangat dingin. bulu kudukku seakan terkejut dan bangkit. Aku tidak suka dengan suhunya. Rasanya belum ingin bangun, lagipula aku tidak akan mengajar hari ini. Ini malam pertama aku tidur di rumah setelah menemani Narai opname selama tiga hari.
Aku kembali memasuki kamar shalat ini, setelah sekian lama pergi. Subuh dua rakaat, lalu usai. Jam dnding di kamar sholat berdetak-detak teratur, pukul lima pagi. Aku enggan melepas mukena, kusandarkan diri pada dinding.
"Kamu sudah shalat?", suara Narai mengejutkanku. Aku mengangguk. Ia kemudian berdiri di atas sajadah, pada posisi imam. Sejak kami menikah, ia menambahkan satu sajadah baru di kamar shalat yang lumayan luas ini, hampir sama luasnya dengan kamarnya. Ruangan ini cukup untuk berjamaah hingga tiga shaf makmum.
Aku memperhatikannya shalat dari tempat bersandarku.
Perempuan mana yang tidak suka dinikahi pria semacam ini? Aku yakin Narai pria baik, taat, dan lihatlah dari segi fisik dan materi. Secara garis besar dia menarik, tampan dan mapan. Atau aku yang belum tahu apa sisi lainnya?.
Dia pernah mengatakan padaku, bahwa dia akan berusaha membuatku jatuh cinta padanya. Dan aku? Aku tidak ingin dia berusaha membuktikan janjinya. Kupikir, Pagi ini adalah saat yang tepat untuk mengajaknya bicara mengenai pernikahan kami.
Dia selesai shalat, menegokku yang masih terpekur memikirkannya.
"Kau bisa memasak?", tanyanya. Aku mengangguk.
"Apa?", lanjutnya.
"Apa saja, yang penting ada resepnya, ada bahannya".
"Bisa pagi ini kau memasak?"
"Tentu, bukannya kemarin sore aku juga yang menyiapkan makananmu"
"Hari ini aku merasa sehat, tapi bisakah kau yang memasak?", sepertinya ia mengira aku tidak mengerti maksudnya. Aku mengangguk lagi, lalu kulepas mukena dan menggantungnya.
Kulkasnya penuh, ia lebih teliti dan telaten dibanding aku. Aku bisa memilih bahan apa saja untuk memasak hari ini. Sebelumnya, aku menyiapkan secangkir besar kopi robusta, sepertinya kopi ini akan menambah semangatku. Yah, aku tidak pernah bersemangat berada di rumah ini, paling tidak kopi bisa menghiburku.
Kusesap sedikit minuman kesukaanku, lalu aku mulai mengambil beberapa sayuran dan mulai memasak. Ini masih terlalu pagi, dan aku sudah sibuk di dapur semacam orang kampung.
Baiklah, hari ini aku akan menjadi orang kampung.
"Masaklah lebih banyak, Mamah dan Bapak akan kesini pagi ini", Narai sudah mensejajariku, tangannya memegang cangkir besar, beraroma kopi.
"Itu kopiku kan?", aku harus memastikan, aku tidak rela kalau kopiku diminumnya. Tapi Narai hanya mengangguk, "jangan dihabiskan!",
"Kamu kan cuma bikin, aku yang beli kopinya", lalu Narai berlalu, keluar dari dapur.
Apa? berlagak jadi suami, hahaha. Tidak bisa kupungkiri dia mulai bertingkah, sudah sehat.
0 komentar:
Posting Komentar