Bubuk Kopi bag 13
Narai POV
Gara-gara kejadian yang menurut Tata memalukan, tadi pagi. Siang ini dia ngambek, batal masak. Aku tidak tahu harus menertawakannya atau bagaimana. Pasalnya, Tata mengenakan celemek, berdiri di sampingku sambil menunjuk ini itu. Mengomando pekerjaanku, berlagak bos. Dia mengatakan kalau hari ini aku harus memasak untuk semua karyawan di pabrik. Baiklah, dia menyiksa orang yang baru keluar dari Rumah Sakit. Saat kukatakan seperti itu, ia mencak-mencak, mengataiku sambil memukul-mukul meja keramik dengan cendok sayur dari stainless steel.
"Oh, jadi begitu. Katakan saja kalau kemarin kamu itu tidak benar-benar sakit. Kamu hanya mau minta dimanja-manja kan? Disuapin, diladenin sama perawat, gitu?. Udah ini dipotong kentangnya, tuh tuh bawangnya jatuh. Eh, inii, ini seledrinya diberesin dulu", dan sebagainya.
Aku risih, antara ingin tertawa dan kesal karena suara sendok sayur stainless itu menggema di telinga, mengganggu pendengaran.
Meski begitu, akhirnya kami makan siang bersama. Kuajak dia jalan-jalan ke pabrik setelah kami shalat dhuhur sendiri-sendiri.
Karyawan pabrik memang tidak banyak yang mengenalnya, mereka kemudian memuji kalau kami pasangan yang serasi. Mendoakan, memberi selamat dan sebagainya. Aneh, padahal kami sudah lama menikah, dan baru kali ini aku bisa mengajaknya ke pabrik.
Kuajak dia ke atap pabrik, dari sini kami bisa melihat pemandangan. tampak mirip dengan pemandangan yang bisa dilihat dari ruang baca di rumah. Ada sebuah kamar di atap pabrik, dulu aku suka tidur disini saat masih lajang. Isinya seperti kamar kost anak kuliahan. Di bagian yang kusebut teras kamar, ada sebuah kursi dan meja kecil. Dulu aku suka duduk sendiri disini, mengingat-ingat masa kecil dan ayah ibuku.
Tata melihat isi ruangan kecil itu, dia menemukan foto masa kecilku. Lalu kami duduk berdampingan di teras, menyelipkan kaki menerobos pagar besi agar kaki kami bisa berayun-ayun.
"Maukah kau membantuku?", tanyaku kemudian. Tata hanya menatapku dengan wajah datar, tidak penasaran.
"Bisnis ini semakin berkembang, aku butuh seseorang yang kupercaya untuk membantuku mengelolanya".
"Karyawanmu kan banyak", sanggahnya.
"Sama seperti aku, mereka kurang pengalaman. Mereka orang kampung yang kebanyakan lulusan SMA"
"Jangan merendahkan"
Aku tersenyum sendiri, seperti tidak mudah memang untuk meyakinkannya.
"Sebenarnya, aku memintamu karena kamu istriku"
"Itu cuma status, Rai"
"Lagipula aku harus memenuhi janjiku"
"Janji? Janji apa?"
Tata lupa, tentu saja. Ia tidak begitu peduli dengan segala sesuatu tentangku, tentang kami. Yang dia pedulikan hanya karirnya, program doktoralnya, dan Danu.
"Ada sebuah janji, katakan saja begitu". Bagaimana aku mengatakannya, toh Tata tidak akan ambil pusing.
"Sebenarnya, aku berencana membicarakan tentang perceraian ketika kamu sudah pulih. Dan sepertinya sekarang kamu sudah sehat"
Aku berusaha tidak terkejut, aku sudah merasa harus bersiap-siap kapan saja saat Tata ingin membicarakan hal ini.
"Apakah pernikahan begitu mudah bagimu, Ta? Seringan itu kau membicarakan perceraian?"
Ia terkejut, Aku tahu itu karena ia menatapku dengan bibir sedikit terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu tetapi pada akhirnya ia memilih diam.
"Saat ini, sudah tidak penting membicarakan soal perasaan saja, hidup kita tidak melulu tentang cinta. Kalau kau tak bisa leluasa mencintai seseorang, ambil dan coba mencintai orang-orang yang mencintaimu, Ta"
"Kau membicarakan Danu", ia kesal
"Aku membicarakanmu. Aku tidak tahu sejak kapan, tapi begitu kau jatuh cinta padanya yang kau pedulikan hanya dia. Apa kau memikirkan Mamahmu yang meresahkanmu, apa kau memikirkan Bapak yang mendukungmu dalam segala hal, kecuali soal Danun tentunya"
"Rai!"
"Saat memutuskan menikah dengan ku, kau sedang marah. Dan tidak berfikir panjang. Saat kau memikirkan ingin bercerai, kau sedang marah. Kau marah terus menerus pada dirimu sendiri"
"Rai!", lihat, Dia membentakku, karena dia marah.
"Kau gusar karena kau marah, juga sekarang". Tata menatapku kesal, "Kau hampir berhasil di segala bidang, kecuali tentang membangun persepsi bahwa kau bisa mencintai orang lain selain Danu. Pikirkanlah, ada banyak kesia-siaan disana"
"Hentikan!"
"Aku mengatakan ini bukan karena aku merasa berhak sebagai suamimu, tapi pikirkanlah orang-orang yang menyayangimu, orang-orang yang bisa menjadi tempatmu pulang".
Kutinggalkan dia di teras kamar itu. Aku kembali ke rumah, dan berkemas.
***
sumber gambar : google
0 komentar:
Posting Komentar