OPALO # 1
Dia gadis keturunan blasteran eropa afrika. Coba kau bayangkan ia adalah makhluk perempuan dengan ciri-ciri sebagai berikut : Tinggi semampai, sekitar 170 cm, cukup tinggi di mata orang Indonesia. Kulitnya cokelat sempurna, mengkilap seperti gelapnya kulit orang afrika. Rambutnya lurus di atas, dan bergelombang di bagian ujungnya. Entah ia memotong pendek atau membiarkan rambutnya panjang, entah bagaimana ujungnya selalu mengombak, hampir keriting. Alisnya rimbun tegak-tegak seperti ujung sapu lidi. Matanya lebar khas orang afrikam akan tetapi hidungnya kecil panjang seperti kebanyakan orang eropa, begitu juga bibirnya yang tipis. Bahkan tulang wajahnya menurutku sempurna.
Tidak seorangpun lelaki yang akan berpaling dari kecantikannya, aku yakin itu. Bahkan diriku sendiri yang sama-sama seorang gadis. Aku selalu memperhatikan detil fisiknya setiap kali bertemu. Aku hanya 155 cm butuh mendongak jika ingin melihat wajahnya.
Gadis ini bernama Opalo. Entah nama macam apa itu, yang jelas aku tidak peduli.
Mari kuceritakan mengenai Opalo yang cantik ini. Cerita ini sebagian menurut cerita Ibuku.
Pada zaman dahulu, ketika aku belum lahir. Ibu sudah memiliki anak laki-laki berusia tujuh tahun, Ia adalah kakakku, namanya Gema. Orang tuaku memiliki kost-kostan di pinggir kota Semarang, sekarang sudah menjadi bagian pusat keramaian. Kebanyakan penghuni kost adalah perantauan.
Waktu itu tahun 1997, bulan Agustus, Ibu sedang mengandungku. Ada sepasang suami istri yang menyewa salah satu kamar kost. Penyewa kamar ini, menurut ibu adalah orang tua Opalo. Ayahnya seorang kulit hitam dan ibunya seorang kulit putih. Saat datang ke kost, Opalo berusia satu tahun. Dan kedua orang tuanya juga mahir berbahasa Indonesia meski dengan aksen yang kaku.
Mereka mengatakan, mereka adalah dokter. Mereka menyewa kost untuk lima tahun kedepan dan membayarnya tunai hari itu. Ibuku menolak karena biasanya setiap tahun harga kost akan naik. Ayah Opalo, mengatakan akan membayar kenaikan harga itu nantinya jika memang benar-benar naik. Akhirnya ibuku menyetujui. Ayahku yang saat itu bekerja sebagai pedagang nasi tidak banyak tahu tentang para penyewa kost keluarga.
Menurut Ibu, kedua orang tua Opalo akan pergi bekerja bergantian. Saat Ayahnya bekerja, Ibunya akan di 'rumah' seharian. Begitu pula sebaliknya. Mereka hanya membawa Opalo keluar dari kamar kost saat subuh hingga matahari terbit, atau sore hari menjelang matahari terbenam. Ibu mengatakan tidak sering melihat Opalo.
Pebruari 1998.
Enam bulan keluarga Opalo berada di kost kami, Ibu melahirkanku. Jadi aku memiliki selisih usia satu setengah tahun lebih muda dari Opalo. Di usiaku yang ke enam bulan, berarti Opalo dua tahun, dan kakakku Gema delapan tahun. Orang tua Opalo mengatakan akan pulang ke Eropa. Mereka menitipkan Opalo dan meminta agar Opalo di asuh di Indonesia hingga kembalinya mereka. Mereka mengatakan akan mengirim uang setiap bulan untuk kebutuhan Opalo dan biaya pengasuhannya, juga untuk membayar jasa keluarga kami. Mereka juga meminta agar kamar yang mereka sewa tidak disewakan kepada orang lain sebelum mereka kembali ke Indonesia.
Ibuku menolak, dengan berbagai penolakan. Khawatir ditipu dan sebagainya. Mereka bertahan seminggu di kost kami, dan suatu malam mereka mengetuk pintu kamar Ibu. Mereka pamit dengan tergesa, meminta tolong dengan sangat agar menjaga Opalo. Lalu mereka pergi begitu saja.
sumber gambar : google |
Keesokan harinya, beberapa pria berseragam TNI datang ke rumah kami. Menyerang Ibu dengan pertanyaan mengenai orang tua Opalo.
Hari itu ibu tahu, kedua orang tua Opalo bukanlah seorang dokter biasa. Maksudnya, bukan seorang dokter yang mengobati orang sakit. Menurut pemahamanku kini, mungkin orang tua Oplao adalah ilmuwan yang bekerja di laboratorium atau apa.
Keberuntungan berpihak kepada Opalo, para anggota TNI itu hanya mencari orang tua Opalo. Atau, mungkin para TNI itu tidak tahu bahwa mereka memiliki Opalo.
Pebruari 1999.
Nihil, pasukan TNI pulang. Ayah dan ibu berembug. Mereka memutuskan bertahan di rumah yang sudah ditinggali sejak ibu kecil ini, mempertahankan sumber pencaharian. Satu bulan kehidupan di rumah sangat panas. Disebabkan anggota TNI dan Polisi bergantian mengawasi sekitar rumah kami. Pada bulan kedua setelah kejadian itu, pengawasan mulai berkurang, pada bulan ketiga semakin berkurang lagi, hingga satu tahun barulah keadaan kembali normal. Para pengawas dari TNI dan Kepolisian juga menyampaikan permintaan maaf atas tuduhan yang tidak terbukti.
Sejak hari itu pula, Ibu baru bisa keluar rumah dengan tenang tanpa diikuti. Ayah bisa berdagang nasi dengan nyaman tanpa diawasi.
Ibu mengajak aku yang berusia satu setengah tahun, dan Opalo yang berusia tiga tahun ke pasar. Ibu pergi ke pedagang daging langganan di pasar Johar, belum sebesar sekarang. Lalu si pedagang daging ini memberi ibu sebuah tas kecil. Pedagang langganan ibu mengatakan kalau ia mendapat titipan itu sudah lama. Akan tetapi berpesan untuk tidak diantarkan ke rumah, selain memang pedagang daging ini tidak tahu rumah kami, si penitip mengatakan apapun yang terjadi jangan diantarkan, Ia hanya berpesan untuk diberikan apabila Ibu sendiri yang datang membeli daging.
Ibu memasukkan tas dari kulit itu ke dalam tas plastik, menjadi satu dengan daging yang dibelinya.
Dengan tidak sabar, Ibu pulang dan segera membuka tas itu dengan sembunyi-sembunyi di kamar. Di dalam tas , ada ibu menemukan beberapa benda. Buku tabungan di Bank BRI atas nama Opalo dan atas nama ku dengan nilai yang cukup fantastis bagi orang biasa seperti Ibu. Ada Saldo tiga juta limaratus ribu rupiah di masing-masing buku tabungan.
Tahun 1997-1998 adalah masa krisis ekonomi menurut buku sejarah yang kupelajari. selain buku tabungan itu, ada seikat uang pecahan senilai lima ratus ribu. Nilai lima ratus ribu pada masa itu sangat banyak. Kemudian ada kantong kecil lain yang terbuat dari kulit. ada tiga buah kalung emas dengan tiga nama : Opalo, Anita dan Gema.
Ibu menemukan sebuah surat yang diperuntukkan kepadanya. Surat itu sampai sekarang masih ada dan disimpan oleh Opalo. Surat itu masih dengan ejaan lama.
Hari itu juga, setelah habis membaca surat tersebut. Ibu kembali ke pasar dan memastikan siapa yang menitipkan tas itu kepada pedagang daging. Pedagang daging mengatakan ciri-ciri yang sama persis dengan orang tua Opalo. Ibu pulang dan menangisi Opalo, katanya.
bersambungkah mba???
BalasHapusWaahhh ini keren...ini bersambung kan ya mbak??
BalasHapusMengisahkan zaman dulu ni, kak
BalasHapus