OPALO # 11

Apalagi?
Kali ini hal besar terjadi. Nando yang mendapatkan cetak biru gereja blenduk, dibawa oleh Opalo menerobos.

Sungguh, menurutku langkah mereka kali ini terlalu berlebihan. Memangnya apa yang akan mereka temukan? Opalo hanya berusaha mencari keberadaan orang tuanya yang sampai saat ini tidak menampakkan diri. Haruskah mereka menerobos masuk melalui jalan di gorong-gorong seperti dalam gambar cetak biru. Ya, memang itu rencananya.

Kurasa, mereka memang rekan yang cocok. Opalo yang gigih dan Nando tampaknya anak laki-laki yang bebas dan berani. Kupikir tingkah mereka seperti Bond, si mata-mata.

Tetap saja, bagiku tak masuk akal harus melalui jalan ini.

Aku tidak bisa melakukan apa-apa selain berfikir cemas sambil membantu ibu membereskan rumah dan sebagainya, seperti biasanya. Pencarian di komputer dengan memanfaatkan internet memang membutuhkan waktu yang lama. Meski sebenarnya, aku tak terlalu percaya dengan apa yang bisa Nando lakukan. Maksudku, itu semua hanya ada di film.

Pukul satu siang, aku sedang membuat sop buah di dapur. Meski seharusnya bulan Desember hujan, tetapi beberapa waktu terakhir cuaca sudah tidak sama semestinya dalam pelajaran IPS anak SD.

Telepon rumah berdering. Aku tidak berminat mengangkatnya, sedang memotong melon dan mangga. Suara dering berhenti, mungkin ibu sudah mengangkatnya. Dua detik kemudian berdering lagi. Aku bertanya-tanya dimana Ibu.

Suara dering berhenti, dua detik kemudian berdering lagi untuk ketiga kalinya. Aku harus lari-lari kecil di ke ruang tengah untuk mengangkat telepon itu. Dan,

"Hallo, assalamualaikum"

"Wa alaikumussalam"

"Dengan siapa ya? Ada yang bisa di bantu?"

"Saya dokter Muhammad, dengan siapa saya bicara?"

"Anita, dokter. Ada perlu apa? Mungkin mau bicara dengan Ibu?"

"Tidak Anita, dimana kakakmu?"

"Kakak Gema, atau Opalo?"

"Opalo"

"Dia pergi keluar dengan temannya sejak pagi. Ada apa dokter"

"Kira-kira ia pulang jam berapa?"

"Saya tidak tahu, ada yang perlu saya sampaikan?"

"Katakan padanya, untuk menghubungi saya segera"

"Bagaimana kalau dokter menelepon di nomornya saja?"

"Sudah berkali-kali tapi tak diangkat"

"Begitu rupanya"

"Dan, ada satu pesan yang perlu saya sampaikan. Akan tetapi Anita tidak boleh mengatakannya pada siapapun, oke?"

"Baik, dokter"

"Katakan jangan coba-coba mencari orangtuanya melalui orang-orang di gereja blenduk, atau gereja manapun"

"Gereja blenduk? Ada masalah apa, pak dokter?"

"Katakan saja begitu, kalau dia ingin dirinya dan orang tuanya aman"

Aku terkesiap, sudah tidak bisa mendengar lagi yang dokter Muhammad katakan. Jadi, otak lemot ku mengatakan bahwa, mungkin orang-orang di gereja sudah tahu, dan kepala sekolah itu, dan pendeta itu.

Handphone, kuambil habdphone ku dan kububungi dia. Sialnya, handphone Opalo tergeletak di meja belajarnya. Satu-satunya cara adalah, aku harus menghubungi Nando. Dan, sial lagi, handphonenya dikunci.

Kuketik namanya, gagal. Nama lebgkapnya, gagal. Nama ayahnya, gagal. Nama ibunya, gagal. Nama ayah dan ibu kami, gagal. Tanggal lahir, gagal.

Aku berusaha tenang, memikirkan sebuah kombinasi huruf dan angka. Apa yang akan ia gunakan untuk mengunci handphonenya. Aku harus bersabar 60 detik setiap salah memasukkan password 10 kali. Benar-benar menghabiskan waktu. Waktu tunggu 60 detik yang ke empat.

Anita, berhasil?. Gila, dia menggunakan namaku sebagai password. Nama Nando ada di urutan paling atas di panggilan keluarnya. Dan aku harus, menghubungi nomor telepon si hacker itu.

"Apakah Opalo bersamamu? Aku melihat panggilan keluarnya yang terakhir adalah kamu. Jadi aku menghubungimu"

"Apa yang kau lakukan? Aku mengunci handphone ku!", suaranya memekik namun pelan.

"Cepat pulang, dokter Muhammad mencarimu, ia tahu sesuatu. Ia bilang mengenai gereja blenduk bukan tempat aman untuk mencari informasi, mereka mungkin susah tahu siapa kau sebenarnya. Cepat pulang, Kak"

"Baiklah, kami akan segera keluar dari sini"

"Sialan, kau pakai namaku jadi password? Sialan"

Aku benar-benar kesal padanya. Dan satu jam kemudian ia sampai dirumah dengan kondisi sangat buruk. Baju compang camping kotor seperti seorang petani. Dan seorang anak laki-laki bersamanya, aku yakin dia Nando.

Nando langsung pergi tanpa masuk rumah kami. Opalo segera mandi, sekaligus membasuh pakaiannya.

Aku baru ingat, sebelumnya aku membuat sop buah dan belum selesai. Maka harus kuselesaikan menu segarku siang ini. Es balok kotak-kotaknya sudah meleleh, sisa setengah.

Kuletakkan semangkuk sop buah di meja belajar Opalo.

"Dapat sesuatu?"

"Iya, bau badan, dan tikus got"

"Apa tempat bawah tanah seperti itu memang ada?"

"Ya, kami hampir memasuki sebuah ruangan mungkin, dengan pintu besi bulat seperti jendela kapal. Dan kau telepon"

Aku mengangguk-angguk, sambil melahap sop buahku.

"Dokter Muhammad memintamu menelepon"

Bel depan rumah berbunyi. Aku hampir keluar untuk membuka pintu, tapi ibu sudah disana. Aku hanya mengintip dari kamar. Seorang lelaki dengan pakaian aneh, seperti baju adat jawa berwarna hitam polos. Dan, dia memakai kalung salib.

"Sembunyi!". Kutarik tangan Opalo dan kami meringkuk di bawah ranjang. Dengan memegang mangkuk sop buah.

Laki-laki itu mendobrak masuk ke kamar kami, dengan mudah. Karena memang kamar kami tepat di belakang ruang tamu.

"Dimana? Katakan!"

"Saya tidak tahu, sungguh"

Laki-laki itu masuk kamar kami, memegang mangkuk sop di meja Opalo.

"Kau sembunyikan dimana?"

"Saya tidak tahu maksud anda, sungguh"

Brak

Pintu kamar kami dibanting dari luar. Orang itu pergi, tampaknya.

"Malam ini jam 8, pergi ke ruang ICU 3 di RS, sendiri, ku tunggu. Sampai nanti malam, jangan keluar rumah. Jangan keluar dengan mencuriakan"

Aku membaca pesan di handphone Opalo, dari dokter Muhammad.

"Apa yang terjadi?"

"Tidak tahu", ujarnya menggeleng, kurasa ia penasaran.

"Opalo, Anita", itu suara ibu. Kami keluar dari peraembunyian.

Wajah ibu lebam, ibu memeluk kami. Aku tidak tahu kenapa pipinya berwarna keunguan, apakah lelaki itu menyakiti ibu?

##
Pict by google

Share this:

JOIN CONVERSATION

3 komentar:

  1. Walahh.. Aku ketinggalan banyak nih, mba. Baiklah, aku numpang gelar tikar, ya. Nunggu kelanjutannya. Hehhee.

    BalasHapus