Secrets of Hope # bag 1

Dalam dua jam aku akan tiba di Stasiun Senen Jakarta. Saat ini pukul dua dini hari. Tidak tampak jelas berada di mana sekarang. Aku tidak ingin menebak. Perjalanan dari Pacitan sungguh melelahkan untuk menyambangi Jakarta, kota yang belum pernah kudatangi.

Hujan gerimis di luar, menyisakan titik embun dan hawa dingin yang meresap kedalam besi gerbong. Ini adalah keberangkatanku ke Jakarta untuk pertama kali, dalam rangka menemui adik laki-laki yang memberitahu tengah sakit.

Udara terlalu dingin meski di gerbong kelas bisnis. Aku memutuskan untuk mencari pengganjal perut di gerbong restorasi.

Gerbong restorasi tidak terlalu banyak orang, hanya beberapa duduk bercengkerama sambil menikmati menu. Aku memesan teh panas dan nasi lengkap dengan lauk.

Melihat sekeliling, mataku tertuju kepada seorang gadis di salah satu meja, ia tengah makan. Kudekati ia dan kusapa. Meminta untuk duduk bersama, ia mempersilahkan. Ia menyebutkan namanya, Nayla. Aku memperkenalkan diriku, Mitha.

"Kok hanya makan mie, dik?", tanyaku. Kupikir jelas dari wajahnya ia lebih muda.

"Iya mbak, saya suka makan mie instant. Mbak Mitha mau?", tawarnya. Aku menggeleng kemudian menunjukkan nampanku.

"Mau ke Jakarta juga?", Nayla mengangguk, "kuliah, atau kerja?", lanjutku.

"Tidak dua-duanya, hehe".

Sepertinya ia enggan memberitahu. Tapi aku terlanjur bertanya lagi, "lalu?"

"Emm, mau menengok... teman", ujarnya. Aku mendengar suaranya gamang. Tiba-tiba aku merasa bersalah, mungkin tidak seharusnya aku bertanya. Tapi kuralat lagi, itu adalah pertanyaan wajar. Nayla melanjutkan memakan mi nya. Aku harus mulai makan. Nayla makan dengan perlahan, tetap saja ia menghabiskan mi nya lebih dahulu.

Nayla mulai bertanya tentang tujuanku melakukam perjalanan ke Jakarta, sendirian.
"Pasti temanmu itu teman yang sangat dekat ya? Sampai kau meluangkan waktu untuk menjenguknya di Jakarta?",tanyaku.

"Ya, begitulah mbak", logatnya khas gadis Jogja yang katanya lemah lembut itu, kupikir ia memang selaras dengan nama kota asalnya.

"Siapa namanya?"

Nayla memandangku. Wajahnya ragu-ragu, antara harus tersenyum atau tidak. Tapi suaranya keluar juga.

"Catur"

Aku tertegun sejenak, batal menelan nasiku, "kupikir temanmu itu perempuan", kataku. Dia tersenyum, malu sekali. Meski tidak tampak wajahnya bersemu, tetapi aku yakin dia merasa gagu.

"Maaf kalau mbak tidak sopan. Tapi sepertinya kalian punya hubungan spesial ya?" Lanjutku. Entah kenapa rasa penasaranku muncul. Nayla tersenyum lagi, menganggyuk. Sesekali menimang handphonenya, mengalihkan perhatian.

"Jadi? Calon suami?"

Nayla tertawa, kalau saja dia tidak mengindahkan sopan santun jelas sekali dia akan terbahak-bahak.

"Tadinya, saya berharap begitu. Akan tetapi, menjadi teman saya rasa sudah lebih dari culup bagi saya"

"Tadinya?"

"Tadinya. Saya memang pernah mengharapkannya menjadi suami saya. Meskipun sekarang perasaan itu belum sepenuhnya hilang, akan tetapi saya berusaha mengendalikan diri"

"Mengendalikan diri dari apa, dik?"

"Mengendalikan diri dari pengharapan berlebihan"

Nayla diam, mungkin selesai bercerita. Ia meneguk minumannya kemudian tersenyum padaku.

"Dia sudah menikah?"

Kulihat Nayla terhenyak, lalu menggeleng. Sekarang aku tertegun. Apakah etis jika kutanyakan kenapa gadis ini berusaha berhenti mengaharapkan seseorang, padahal dia belum menikah.

"Kau masih selalu mendoakannya kan?", Nayla mengangguk, "kau masih suka berdoa, mungkin kalian berjodoh". Nayla menatapku terkejut samar. Bibirnya menganga sebentar, lalu berusaha tersenyum. Aku bisa melihat jelas matanya nanar. Mungkin lebih baik aku tidak bertanya lagi, lagipula kami baru bertemu beberapa menit yang lalu.

Segera kuhabiskan nasiku. Pamit kembali ke gerbong pada gadis itu. Dan aku masih memikirkan ceritanya. Betapa rumitnya sebuah pertemuan bagi beberapa orang. Dan betapa mudahnya sebuah perjodohan untuk aebagian lainnya, seperti aku mungkin. Mungkin aku tidak akan bisa mengerti apa yang dirasakannya karena ceritaku berbeda. Dan tiba-tiba aku merasa bersalah kalau sebenarnya aku hanya ingin tahu, dan tidak sungguh peduli.

Jam terus berputar. Kereta berhenti di stasiun Senen. Aku turun dengan tas ranselku. Hari masih gelap, jam 04.00 pagi, belum subuh. Mataku melihat sekeliling. Melihat keramaian Stasiun di jam sepagi ini. 
Di kejauhan aku melihat Nayla dengan jarak kurang lebih dua puluh langkah. Ia sedang menelepon seseorang, tak lama kemudian ia melambai dan seorang gadis berlari kecil memdekatinya. Mereka bersalaman, mencium pipi dan berpelukan sejenak. Nayla menypdorkan tas kertas besar, kuyakin isinya oleh-oleh. Gadis itu menerimanya, kemudian mereka melangkah menuju pintu keluar dari stasiun.

Bersambung
#

Sumber gambar, google

Share this:

JOIN CONVERSATION

    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar