Aku tidak bisa memandang masa depan, seolah-olah kabut tebal menghadang langkahku. Ketika aku berbalik, dia juga ada disana, menutupi jalan untuk kembali ke rumah.
Keadaan ini membingungkan, sungguh. Kalaupun aku meminta maaf, itu tiada artinya.
Ada perasaan menyesal berdentam-dentam di dalam hati. Lalu tertawa miris, menyadari, membodoh-bodohkan diri sendiri.
Petunjuk-petunjuk itu muncul. Hasrat yang menggelora, menuntut terkabulnya harap. Lalu aku menjadi linglung. Seolah-olah kabut tebal melingkupiku.
Lelah rasanya jika buih-buih ini terus memuai, berkembang, menyesaki dada, menjadi sebab terbatuk-batuk lara.
Aku masih mencari, dimana cawan-cawan biasanya. Yang bisa kutumpahi segala gila.
Lalu kegilaan itu berdenyut-denyut dalam otakku. Beberapa terus menyulut propaganda. Beberapa mati sia-sia. Dan aku menyesali pemakamannya.
Seperti gerombolan lebah mendengung. Mengaburkan kewarasan. Aku harus berangkat, bahwasanya imajinasi ini terus mengajakku berlari.
Bahwasanya aku harus menebar serpih-serpih gila.
Aku tidak bisa memandang masa depan. Hanya mengikuti bisikan menggelikan. Yang memaksaku meniup kabut, menyingkirkannya, lalu mulai menapaki langkah.
Aku harus berangkat. Bahwasanya imajinasi ini terus mengajakku berlari. Terus, meski tiada tepi pada akhirnya.
0 komentar:
Posting Komentar