Efarmogi
Suhu udara mencapai 17 derajat celcius, masih cukup hangat untuk wilayah kota yang sedang musim salju ini. Orang-oramg berlalu lalang mengenakan baju rapat di seluruh tubuh. Penutup telinga dari bahan woll tebal berwarna-warni.
Beberapa kilometer dari resto kecil ini adalah Veluwemeer, saluran air di jalan N302, dekat kota kecil Harderwijk, Belanda Timur. Kota ini terletak di bawah bagian kecil dari danau Veluwemeer dan pada saat yang sama menghubungkan daratan Belanda ke Flevoland. Dari yang aku baca Veluwemeer memiliki panjang sekitar 25 meter (80 kaki) dan di bawahnya setiap hari melewati sekitar 28.000 kendaraan. Saluran air dibuka untuk lalu lintas pada tahun 2002.
Dan aku duduk sendirian di salah satu bangku restoran sudut jalan ini. Secangkir kopi kental, mix susu dan bubuk cokelat pahit. Mengepul dari cangkir besar di hadapanku. Semangkuk soup yang sama mengepulnya baru saja dihidangkan. Aromanya semerbak rempah khas indonesia. Pemilik resto pojok jalan ini memang orang asli Indonesia. Kakek moyangnya adalah orang buangan semasa penjajahan belanda dulu. Konon, beliau - si kakek moyang - diangkut paksa untuk bekerja di kapal belanda dan dilepaskanlah ia menjadi tunawisma di Belanda. Anak cucunya entah sudah berapa puluh turunan menjadi warga negara Belanda hingga kini.
" onmiddellijk eet je soep, het maakt het heerlijke lucht later!", pak tua muncul dari dalam resto. Dialah pemilik resto ini kini. Wajahnya berkerut menyuruhku segera memakan sup ku. Namanya Jilt entah apa lanjutannya, sulit sekali mengucapkannya.
Nama resto ini adalah JOWO RESTO, kupikir itu bahasa Belanda. Ternyata bukan, JOWO ya Jawa. Jawa tempatku berasal. Pak Joko terpingkal ketika aku menanyakan kenapa nama restorannya semacam itu. Dia menjawab santai, "Iki restorane wong jowo. Jowo tengah", aku ber o panjang sambil mangut-mangut. Tak kusangka.
Setahun berada disini. Kota kecil di tepian dan dekat dengan air-air.
Negeri yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Dulu aku hanya tahu nama Belanda dari buku pelajaran dan internet. Datang ke negeri nun jauh dari kampung halamanku, tanpa kenalan, tanpa relasi, tanpa kontak satupun. Semenjak datang aku sengaja mencari orang Indonesia disini. Kupikir kebanyakan mereka adalah TKI. Aku datang ke resto ini suatu hari Minggu, dan menemukan wajahnya yang sangat "jawa". Beberapa pengunjung juga memiliki aksen wajah mirip denganku. Ternadilah percakapan khas Indonesia. Di kota ini beberapa keluarga keturunan orang Indonesia buangan tinggal. Masih banyak lagi di luar kota Harderwijk. Belum lagi para tenaga kerja yang sengaja datang mencari penghidupan. Mereka rata-rata memiliki nama Indonesia sebagai panggilan kerabat. Jilt, aku biasa memanggilnya pak Joko. Begitulah perkenalanku dengan keluarga ini dulunya. Sementara namaku sendiri Falia, menurutnya sudah tidak nasionalis kepada Indonesia lagi. Aku gadis Indonesia masa kini, nama yang ke inggris-inggrisan atau kearab-araban sudah tidak asing bagi masyarakat indonesia kini.
Aku mengangguk kemudian melahap cendok demi cendok supku. Taste Semarang, sup sayur asam. Pedas panas dan membuat kerinduan mengalir di sela-sela relungku.
Pak Joko menemaniku berbincang dengam bahasa belanda. Sedikit banyak aku mengerti. Sehari-hari aku berbicara dengan bahasa Inggris dengan orang lain, teman, relasi, bos dan orang-orang di jalanan.
Aku datang untuk melanjutkan study master ekonomi. Kampusku jauh dari Harderwijk. Aku datang setiap hari Minggu ke resto pak Joko. Disela kesibukan belajar dan bekerja. Kampus memberikan keluasaan kepada semua mahasiswa luar negeri. Hari perkuliahanku dimulai hari senin dan berakhir hari Kamis. Benar-benar perkuliahan yang intensif. Pukul 09.00 waktu setempat dimulai dan berakhir 20.00. Tidak ada kuliah kosong dan jadwal bolong-bolong seperti di Indonesia. Terlebih kami, mahasiswa beasiswa. Kami dituntut target nilai dan prestasi. Bukan main.
Aku berbahasa Indonesia bahkan Jawa dengan keluarga dari Indonesia. Orang-orang keturunan Indonesia dan blasteran yang setiap minggu berkumpul di resto pak Joko. Semakin siang semakin penuh resto ini dengan kedatangan para Indonesian, ramai dan penuh hidangan Indonesia. Aku senang, cukup senang sampai detik ini.
Edda, gadis berkulit langsat dan rambut lurus hitam legam khas Asia. Ia keluar menghidangkan cupcake hangat padaku. Pak Joko sudah beranjak dari tadi, berbincang dengan pria wanita seumurannya. Meski tinggal di belanda, Edda kental berbahasa Jawa. Dia seusiaku, 24 tahun. Tidak lagi kuliah, seorang fotografer dan koki di resto ayahnya sendiri. Berkerudung sepertiku. Keluarga dari Indonesia yang telah kukenal rata-rata muslim.
"Pie kuliahnya mbak?", ia membelah cupcake hangat miliknya. Cokelat karamel meleleh keluar dari robekan kue. Aku kepingin, kuambil milikku dan segera kucicipi. Lezat bukan main, coklat asli Belanda sedikit pahit.
"Baik, sudah mulai terbiasa"
"Ora kangen bapak ibu dirumah mbak?"
"Jelas kangen, sampean iki", Edda mengulum cendoknya.
"Ora kangen mas Reno, mbak?", wajahnya menyelidik ekspresiku, aku tahu jelas.
Kusahut dengan tawa tak jelas.
"Uwis to, biarkan saja"
Mas Reno, Edda sering menggodaku dengan nama itu.
Ah, aku kangen sekali padanya. Hampir seimbang dengan kangenku kepada bapak ibu.
Lanjutan cerita di : efarmogí oleh rinalaila di Wattpad http://w.tt/1KzSmad .
Sumber gambar : https://ro.m.wikipedia.org/wiki/Harderwijk
0 komentar:
Posting Komentar