OPALO #13

Malam barusaja beranjak menuju waktu isya. Aku duduk berdiam-diam di atas sajadahku. Beberapa hari terakhir, kamar ini terasa aneh. Kamar yang dihuni oleh dua anak perempuan yang tak jauh beda usianya, di tempat lain kamar dengan tipe penghuni seperti kami pasti ramai, riuh rendah oleh candaan atau pertengkaran. Sementara aku dan Opalo sibuk dengan pikiran masing-masing, meski masih sama-sama duduk diatas sajadah.

Teringat akan pertanyaannya ketika masalah ini dimulai. Opalo menanyakan statusnya sendiri, sebagai bagian dari penganut agama. Muslim kah dia, kristiani kah dia? Lalu pikiranku tertuju pada Nando, teman Opalo yang atheis itu. Bagaimana mungkin seseorang tidak mempercayai sesuatu. Bahkan orang muslim saja masih ada yang menuhankan benda, keris, pohon, batu akik, nisan-nisan di pemakaman, dan sajian-sajian yang dihamparkan di pertigaan jalan.

Aku menatap punggungnya yang tertutup mukena, motif bordir kecil-kecil rumit dan halus, khas pekerjaan tangan - bukan pabrikan, sama persis dengan yang kukenakan. Kebingungan seperti apa yang sedang ia alami. Dia tidak mengatakannya padaku. Beberapa hari ini kami masuk kamar ketika sudah magrib, kurasa alasanku adalah karena kecanggungan ini. Aku juga tidak mengambil kesempatan untuk bicara pada ibu, menyendiri di kursi depan sambil pura-pura mengerjakan tugas, pura-pura membaca buku, pura-pura sibuk, atau pura-pura menonton acara televisi di ruang tengah.

Persaudaraan atas nama akta kelahiran itu, yang sesungguhnya aku tidak mengerti antara perbedaan ras, warna kulit dan agama. Seolah-olah sekarang menjadi gamang. Aku tahu kami berbeda ras, apalagi soal warna kulit meski aku tahu Opalo lebih cantik dariku.

Adzan isya akhirnya berkumandang, kami berjamaah, dan aku sungguh tidak sedang menghadap. Karena angan-anganku terbang jauh sekali. Mungkin di Wamena, atau gunung Jaya Wijaya. Setidaknya ibadah shalat dapat memberi kesempatan kepada kami untuk tidak beku pada sikap akting mengkhusyukkan doa-doa, bagiku.

Melipat mukena dan sajadah, mengembalikannya ke tempat semula, dan duduk di kasur masing-masing. Seolah-olah mengerjakan tugas. Membosankan sekali memang.

"Kai tidak mau katakan sesuatu padaku?", tanyaku tanpa mendekat, sambil memegang setumpuk buku di pangkuanku. Opalo menatapku, mengehembuskan nafas berat.

"Aku harus mengatakan apa?", ujarnya.

Aku hanya mengangguk dua kali, berusaha mengerti mungkin ia belum siap untuk bercerita. Tetapi ia bangkit dan naik ke kasurku.

"Begini, ketika sedang berdoa, shalat. Apa yang kamu rasakan? Maksudku, kenapa kamu melakukannya?". Aku terpekur mendengar pertanyaan itu.

"Shalat itu kewajiban seorang muslim, dan berdoa itu senjata orang muslim. Bukannya kau tahu?", kukembalikan kesimpulan itu padanya.

"Jika aku berdoa meminta keselamatan, apakah Allah akan mengabulkan?".

"Aku tidak tahu, kau tanyakan saja langsung padaNya. Kau selamat atau tidak itu terserah Dia".

"Kalau semua terserah Dia, kenapa kamu berdoa?".

"Karena aku yakin Dia akan memberikan apa yang kuinginkan".

"Jawaban ini bertolak belakang dengan jawaban sebelumnya!".

"Pada akhirnya semua terserah Dia. Tinggal, kamu yakin atau tidak?".

Opalo terdiam.

"Aku sedang mencari tahu sebenarnya aku yakin atau tidak padaNya", Opalo diam sejenak, lalu melanjutkan "Dokter bilang, ada satu cara untuk menyelamatkanku. Yaitu menghilangkanku dari muka bumi"

"Apa?!"

"Tidak, tidak benar-benar begitu. Maksudku, aku pura-pura mati, pura-pura hilang, atau menghilang dimana tak ada seorangpun bisa menemukanku"

"Kenapa harus begitu?"

"Jadi, dokter Muhammad adalah kunci. Dia tahu orangtuaku masih hidup dan ada dimana mereka sekarang. Orang-orang gereja juga mungkin tahu, makanya mereka mengawasiku sampai sekarang ini karena melihat kemungkinan mereka akan datang padaku suatu hari nanti, atau aku yang akan mencari mereka suatu hari nanti"

"Kenapa orang-orang gereja mencari orangtuamu?"

"Aku yakin ada sesuatu yang belum selesai di masalalu. Dan itu harus di selesaikan"

Aku menghela nafas, berat sekali keadaan ini untuk dimengerti. Aku seperti sedang tidak hidup didunia, saat ini.

"Lalu, solusinya"

"Belum pasti, dokter Muhammad juga belum berani memutuskan. Dia menunggu keputusanku juga. Pakah aku harus menghilang atau bagaimana". Opalo merebahkan badannya.

"Kau rindu papa mamamu?"

"Tentu, aku semakin rindu sejak kehidupanku bergolak. Aku ingin mendengar banyak cerita dari mereka. Kenapa bisa sampai seperti ini keadaannya"

"Sabar ya", ku genggam tangannya.

"Aku merasa sudah hidup dengan damai disini, meski aku berbeda. Tapi mungkin tempatku bukan disini ya Anita"

"Kalau nanti terjadi sesuatu, jika kamu tetap ingin disini, aku pasti senang. Tapi jika ada tempat yang lebih baik buatku, aku juga akan senang", seolah-olah kamu sudah mau berpisaj saja. Opalo tersenyum, sebuaj senyum yang sama bingungnya dengan senyum yang kudapati saat-saat terakhir ini, bukan senyum dan tawa lebar seperti dulu.

"Aku khawatir, meski aku tidak bisa memberi solusi, setidaknya beritahu aku, ya". Kataku padanya. Opalo mengangguk. Kami harus saling percaya dalam keadaan seperti ini, seperti percaha di keaadaan sebelumnya yang masih berjalan mudah.

#
Pict by google

Share this:

JOIN CONVERSATION

    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar