Jalanan Milik Siapa

Hampir dua bulan penuh saya melaksanakan tugas PPL sebagai guru praktikan di sebuah MTs swasta yang cukup jauh dari rumah tinggal. Jika biasanya saya hanya menempuh waktu lima menit untuk sampai ke sekolah tempat saya mengabdi. Kali ini selama dua bulan saya harus menempuh jarak satu jam perjalanan dengan rata-rata kecepatan 70km/jam.

Biasanya saya akan memacu sepeda motor hingga 80 atau 90km/jam di jalan lingkar yang tentunya lengang dan jalanannya halus. Sementara di pusat-pusat keramaian kecepatan paling tinggi hanya bisa dipacu hingga 60km/jam. Itu pun kalau tidak apes terjebak macet di jalur pasar pagi.

Dua jam pulang pergi dari rumah hingga ke sekolah tempat tugas, hampir melelahkan dan membuat kekebalan tubuh menurun. Tapi meski bagaimanapun, pada akhirnya saya hanya bisa mensyukuri semuanya.

Hari ini adalah minggu terakhir pelaksanaan tugas PPL hingga hari Jumat. Rasanya baru kemarin datang ke sekolah baru ini, dan tiba-tiba sudah hampir usai.

Ketika di jalan raya, sambil mendengarkan musik dari hadset, sering saya berfikir.
Apakah semua orang balapan saat pagi hari seperti ini? Apakah mereka semua buru-buru? Apakah mereka memang buru-buru? Apakah mereka juga ngebut di lain waktu selain jam keberangkatan kerja? Kenapa semua orang ngebut, bahkan mobil-mobil besar pengangkut bahan berat? Apakah mereka fikir jalan raya ini milik sendiri?.

Saya merasa 80km per jam itu sudah cukup cepat, tapi masih ada yang mendahului kendaraan saya.

Mungkin saya juga merasa kalau jalanan ini milik saya. Karena ketika didahului orang lain saya merasa kesal. Karena ketika jalanan macet saya lagi-lagi merasa kesal, kenapa semua orang berada di jalanan? Pertanyaan semacam itulah.

Tapi apapun hikmahnya dari tulisan yang tidak jelas ini, bahwasanya kehidupan terus bergulir seperti orang-orang di jalan raya. Berhenti di rambu lampu merah. Menyalakan lampu sen atau tidak. Membunyikan klakson atau enggan. Sampai berhenti mendadak di tengah jalan. Semua berjalan seperti semestinya. Membangun pola-pola yang berulang atau terputus. Yang penting, syukuri apa yang bisa diperoleh. Dan syukuri juga apa yang belum bisa diperoleh, siapa tahu suatu saat akan tercapai.

Share this:

JOIN CONVERSATION

1 komentar:

  1. InsyaAllah dengan banyak bersyukur, maka nikmat Allah akan bertambah. Aamiin ^^

    BalasHapus