Jendela Jendela Yang Tertutup

Sedang naik daun tentang perpajakan profesi penulis, berawal dari protes pribadi Tere Liye sang penulis kaliber yang dicuekin sama pemerintah, maka saya mencoba mulai menulis.

Sejak kecil, di perpustakaan sekolah, kita punya jargon yang ditulis besar-besar di dinding perpustakaan. Buku-buku tersedia, semuanya sumbangan pemerintah. Mulai dari buku pelajaran dan non fiksi lainnya. Tentu saja ada buku-buku cerita anak, majalah, koran dan segala bentuk tulisan cetak tersedia.

Semakin kesini, semakin besar. Generasi akan mengenal lebih banyak lagi genre tulisan baik fiksi maupun non fiksi, alamiah berjalan seiring perkembangan usia setiap orang.

Lalu, para penikmat tulisan, di mulai dari usia SMP - SMA ini orang akan mulai menekuni bacaan-bacaan yang disukainya. Datang ke toko-toko buku, bazar-bazar, diskon-diskon, loak-loak buku bekas hingga ke toko buku bajakan.

Toko buku bajakan, apakah mereka laris? Tentu.

Apakah para pembaca ini tidak menghargai hasil karya asli karena justeru membeli buku bajakan, belum tentu.

Disini, seseorang kadang harus memilih antara prinsip ekonomi dan prinsip menghargai karya orang lain.
Secara ekonomis,
Sebuah buku asli seharga 45.000 dapat ditukar dengan 3 buku bajakan yang masing-masing dibanderol dengan harga 15.000.

Kenapa itu terjadi? Karena harga buku mahal.

Kenapa harga buku mahal? Padahal biaya percetakannya kan murah. Coba cek ke percetakan, biaya cetak saja itu berapa rupiah untuk 200 halaman buku bolak-balik penuh dengan tulisan.

Pendaftaran hak cipta, ISBN dan pajak lah yang membuat harga buku menjadi mahal.

Jadi, saya setuju kalau pajak profesi penulis dan itung-itungannya yang ribet itu di turunkan secara drastis.

Kalau harga buku murah, otomatis penjualan ekslempar dan status best sellernya akan naik peringkat juga. Otomatis orang akan memilih buku asli karena kualitas lebih bagus dari buku bajakan dengan selisih harga yang tidak terlalu jauh.
Kalau angka minimum best seller nya naik, itu otomatis minat baca sudah berubah ke jenjang yang lebih baik, bukan?. Efeknya apa? Ilmu dan hikmah tersebar luas dengan mudah.

Ayo dong, para pemimpin.

Katanya jargon yang tertempel di perpustakaan : membaca adalah membuka jendela dunia. Dukung dong kuantitas jendela yang terbuka di negeri kita. Dengan mendukung dunia perbukuan di negeri kita tercintah ini.

Para penulis aja berjuang terus kok untuk menyebarkan pesan-pesan baik melalui tulisan, masa iya para pemimpin di negeri kita ini diam aja. 

Share this:

JOIN CONVERSATION

2 komentar:

  1. hahaha pemerintah tau enaknya doang kali yaa. dikira nulis cuma hasil dari mejeng depan laptop..

    BalasHapus
  2. Sangkainnya penulis enak kerjannya duduk doang. Atuh iyak lah kita imajinasi yg maen wkwk

    BalasHapus