Sigandul Story : UP

Takut gelap,
Merinding berada di ketinggian,
Jarang sekali jalan kaki,
Tidak ada kualifikasi apapun yang mendukung untuk sedikit pantas berangkat mendaki, bagiku.
Yang kupunya hanya segunung stok nekat dan penasaran. Jangankan peralatan camping, jaket gunung, atau tenda? Sudah mau berangkat saja aku masih bingung harus membawa apa.

Selain memang tidak lincah, faktor postur tubuhku cukup berisi, jadi tambahan beban untuk mengangkat tubuh langkah demi langkah menapaki tanah untuk mencapai puncak.

Desember dua minggu pertama habis untuk mendampingi anak-anak melaksanakan UAS hingga penerimaan raport. Desember dua minggu terakhir ketika anak-anak libur, aku harus terus bersemangat menghabiskan waktu bersama kertas-kertas folio, mengerjakan tugas kuliah, menghafalkan, belajar lalu menghadapi UAS. Setiap pagi meringkuk di kamar menyelesaikan tanggung jawab akademis, setelah shalat dhuhur berada di kampus hingga maghrib tiba, memperjuangkan angka-angka akademisku.

Hampir tidak mengenyam liburan.

Jumat, 30 Desember 2016. Peperangan dengan mata kuliah usai. Aku masih punya 2 hari untuk terkapar beristirahat. Rencana camping di Umbul Sidomukti pada malam tahun baru bersama teman-teman sekelas gagal sudah, karena tenda-tenda habis di sewa, kami tidak kebagian.

Aku berputar mencari solusi liburan terbaik. Lalu dengan singkat sebuah destinasi disepakati. Malam sabtu, aku membuat daftar sedikit kebutuhan yang harus kubawa. Setelah sepakat dengan beberapa teman untuk muncak.

Dijemput seorang teman gadis dari Semarang. Sabtu, 31 Desember 2016 pukul 12.00 tepat setelah adzan dan iqamah sunyi. Dengan sepeda motor kami berdua meluncur menuju desa Ngadirejo, Temanggung. Disana ada seorang teman, yang dirumahnyalah kami sepakat bertemu.

Sampai di Ngadirejo pukul 14.00 WIB. Berbincang, bergosip, bernostalgia, berdiskusi. Sambil menunggu teman-teman lain datang. Pukul 16.00 WIB teman-teman dari Kendal datang. Kami makan, persiapan, lalu meluncur ke basecamp Bulu. Ada 2 basecamp menuju puncak bukit Sigandul. Satu lagi yang lain adalah basecamp Cemoro.

Rombongan kami terdiri dari 3 laki-laki, dan 4 perempuan termasuk aku. Ketiga laki-laki masuk perhitungan sebagai senior mentor dalam hal mendaki. Sementara kami, para gadis sama sekali awam mengenai kegiatan outdoor seperti ini. Maka, segala persiapan dan kebutuhan selama pendakian dan berada di puncak sudah dipersiapkan matang-matang oleh mereka, para mentor. Kami ganti baju, packing, meringkas barang bawaan sepraktis mungkin. Mereka tepatnya, para mentor. Kami para gadis hanya sedikit membantu saja.

Aku belum pernah benar-benar mendaki seperti kali ini, meski sering hiking. Namun tidak terbersit sedikitpun perjalanan ini akan melalui medan seperti apa.

Pukul 18.00 waktu setempat, kami berdoa dan lepas diri dari basecamp. Matahari sudah lama pergi sejak mendung di siang hari datang. Menyisakan langit putih kebiru-biruan dan semakin menggelap.

Setengah jam pertama perjalanan. Tidak ada satu incipun permukaan kulitku yang kering. Basah habis oleh keringat, mulai dehidrasi, dan detak jantung meningkat cepat seperti hendak keluar dari dada. Aku, terpaksa membuat rombongan berhenti. Membuat mereka ngelemprak di jalur pendakian yang masih landai. Kukira aku sudah tak tahan, kepalaku pusing bukan main, berfikir untuk kembali saja ke basecamp, takut habis di tengah jalan, ngeri kalau-kalau jantungku meledak, khawatir teman-teman repot jikalau aku pinsan dan ratusan pikiran buruk seperti besutan rombongan anak panah menembaki otakku.

Namun baiklah, nyatanya aku harus berusaha berfikir positif dan mengendalikan diri. Dan pada akhirnya kami mencapai POS 1 setengah jam kemudian.

Mungkin bagi para mentor, perjalanan mendaki kali ini begitu lambat. Terlalu sering berhenti, terlalu hening karena kami kehabisan tenaga untuk sekedar berbisik dan mendengarkan detak jantung masing-masing.

Mulai pos 1 hingga pos 2, kemiringan bertambah, sudut tanah mulai bergerak berubah sedikit curam. Meski aku mulai kehilangan rasa pusing, langkah kaki semakin oleng, dan detak jantung tidak secepat setengah jam sebelumnya. Gerimis tidak terhirau, kami terus berjalan.

Di tanah landai di atas POS 2. Kami beristirahat. Aku tidak peduli ada serangga jenis apa. Kuletakkan seluruh badan disana, diatas tanah lembut dan rerumputan basah. Ketakutanku berangsur hilang, meregangkan otot-otot sambil menatap langit yang biru dongker.

Kami bernyanyi, minum, bercengkerama, melihat kelip-kelip lampu kota dari kejauhan. Lalu aku bertanya pada mereka.

"Cah, adewe ki gek ngopo nang kene?".
(Guys, kita ngapain disini?).

Sadar 100%, mungkin aku tidak punya bakat sama sekali untuk mendaki, tapi begini lebih baik, karena aku bisa menertawakan diriku sendiri.

Semangatku kembali, ku kuatkan hati dan mencoba menyulut percikan asa yang tertiup-tiup angin bukit, hampir padam.

Kami melangkah, berharap segera bertemu POS 3, lalu puncak. Kemiringan tanah semakin menjadi-jadi. Dua puluh meter kemudian, di tanah lembek, curam, di tengah rerumputan yang dibabat, berusaha terus naik. Dan, aku terpeleset. Ya Tuhan, kupeluk tanahMu erat-erat dengan pegangan rumput. Bajuku kotor? Jangan tanya itu. Aku tidak peduli, karena ada serangan mendadak pada rasa pesimistisku. Pikiran buruk itu kembali datang menghujam-hujam.

Namun, uluran tangan teman-teman membantuku melepaskan diri dari tanah licin dan mengajak terus mendaki. Tantangan di bawah sana, hilang sudah. Karena diantara pos 2 dan 3 aku semakin gemetar. Tetapi aku harus teruskan, sudah sejauh ini. Apakah aku gila jika memilih turun kembali, hey Rina, ini sudah hampir sampai.

Aku kegirangan betul melihat papan penanda dengan tulisan POS 3 di tepian tebing. Seolah-olah bukit ini mengejekku. Seolah-olah dia mencibirku.

"Kamu kuat sampai atas?"

Setelah POS 3, kami masih terus naik dengan kecuraman tanah mendekati garis tegak. Jalur yang semakin sempit, dan aku harus mencondongkan badan menjauhi jurang demi menjaga keseimbangan. Ketinggian rumput mengalagkanku. Kerudung, jaket, baju, celana, basah oleh air sisa hujan.

Tiba-tiba gerimis. Mentor membongkar tas dan mengeluarkan flysut untuk berlindung sejenak. Kami tidak satupun memakai jaket anti air. Gerimis hilang dan semakin deras, kami mogol. Berbaris di lereng menunggu hujan, dingin.

Hampir putus asa ketika salah satu mentor mengatakan, jika setelah ini kami menemukan lokasi datar landai seperti apapun bentuknya maka kami akan camping disitu.

Termenung, haruskah? Sedangkan puncak yang katanya sudah dekat itu belum kelihatan juga.

Lima belas menit atau lebih berteduh, jangan tanyakan bagian tubuhku yang mana yang masih kering, bahkan bulu hidungku basah semua, haha.

Kami naik, aku berharap bertemu puncak, aku berharap tanah landai, aku berharap segera camping, tapi aku berharap bertemu puncak. Seperti jarum jam, berfikir berputar. Putus asa kembali berperang dengan kobaran semangat. Seperti orang tolol yang tidak tahu mau kemana. Tidak! Aku mau ke puncak.

Tarik menarik, terpeleset, limbung, berpegangan rumput, mencari jejak dengan senter, mencari bebatuan untuk berpijak. Nyatanya kami terus naik tanpa ada tanda-tanda tanah landai di samping kanan atau kiri. Ketika di kanan rumput dan tanah lereng menjulang, maka di kiri adalah jurang, begitu seterusnya.

Mentor kami yang berada di paling depan menghilang, begitu orang-orang setelahnya. Hingga aku.

Entah nyanyian apa, tetapi para  pendaki yang sudah berada di puncak bertepuk dan bersorak menyambut kami.

Kalau tidak malu, rasanya ingin menangis sambil bergulingan di tanah. Tapi nyatanya tidak, kami segera melepas tas, mengeluarkan tenda, membangun.

Aku kedinginan, seluruh tubuh basah, juga hatiku. Tidak tampak apa-apa selain bayangan dan kelip lampu senter. Langit tetap hitam dan bintang bersembunyi, jadi jangan tanyakan dimana bulan berada.

31 Desember 2016, 21.30 WIB.
Tenda selesai didirikan. Kami bergantian mengganti pakaian dengan yang kering, menyalakan kompor, memasak air, lalu makan.

Semuanya hilang, lelah, sedih. Bahkan rasa-rasanya aku kehilangan rasa malu mengingat pencapaian perjalananku mendaki. Dari skala 1-10, mustahil aku memperoleh nilai 6.

Pemuda kampung tiba di puncak pukul 23.00 WIB. Kami mendengar kabar dari sebelumnya bahwa mereka hendak membuat pesta kembang api di puncak. Sambil makan mie instant, kami menonton mereka melakukan persiapan.

Aku bersyukur, sesyukur-syukurnya, lihatlah langit mulai cerah. Bukit-bukit di sekitar mulai tampak. Titik cahaya senter dari gunung Prau melambai-lambai, seolah menyapa : Hallo, kami disini.

1 Januari 2017. 00.00 WIB.
Dengan kembang api melayang-layang di udara. Ah, semua kosakata habis. Aku tertawa tanpa suara. Bersorak tanpa ekspresi. Membiarkan gebyar warna warni padam didekap beku suhu bukit Sigandul. Menatap mereka satu persatu, kawan-kawanku.

###
Foto diambil setelah berdoa bersama sebelum berangkat. Lihatlah wajah kami yang penuh semangat.

Share this:

JOIN CONVERSATION

5 komentar:

  1. Waahhh mbak rina kerennn😍😍😍 jadi pengen ikut mendaki..

    BalasHapus
  2. Tegang bacanya.. Bayanginnya ijut deg deg an..

    BalasHapus
  3. Keren...!!!

    Belum pernah mendaki gunung hingga di usia 26 ini😅😅😅

    BalasHapus
  4. Sipp,via dsn bulu,rejosari,wonoboyo ya?

    BalasHapus