Sigandul Story : Down
05.30 WIB matahari belum naik |
POS 2, GARDU PANDANG. Mentor dari kanan : Rosyid, Ali M, Rozi |
Cerita bukit Sigandul belum usai. Setelah habis kembang api meletus, aku menunggu para anak-anak kampung itu membuat api unggun. Ranting lembab membuat mereka terlampau lama menyalakan api dan malah menyebarkan asap ke seantero puncak Sigandul. Sambil menggosok tangan aku sabar menunggu. Cukup lama hingga api yang tak bisa dibilang besar itu akhirnya berkobar.
Aku berdiri di belakang kumpulan remaja kampung bersama mentor, disebelahnya ada seorang anak kampung yang ia kenal. Meski apinya kecil, hangat yang menyebar cukup membantu menghilangkan dingin di tubuhku. Rombonganku sudah bersembunyi di dalam tenda, kesemuanya. Kecuali aku dan mentor yang masih berbincang sedikit dengan anak-anak kampung.
Para remaja dari kampung Bulu mudah akrab dengan pendatang, khas keramahan orang desa Indonesia. Yah, bagaimanapun kami adalah pendatang.
Sekitar pukul 01.00 WIB, dinihari yang semakin sejuk. Aku memutuskan untuk masuk tenda. Mentor mengeluarkan sleeping bag dan memberikannya kepada kami. Kami para gadis meringkuk di satu tenda yang paling besar. Satu tenda sedang di isi oleh 2 kawan laki-laki. Satu tenda kecil berisi semua barang dan perlengkapan diisi oleh satu kawan lagi.
Telapak tangan dan kakiku membeku. Sleeping bag memang tak cukup hangat, tapi memberikan perbedaan besar antara suhu di dalam dan di luar SB. Coba saja mentor tidak menyiapkan SB lebih, aku mungkin sudah membeku hingga kesemua bulu hidung.
Suasana di luar mulai sepi, pendaki mulai meringkuk dan berusaha beristirahat, begitu juga aku. Tersisa rombongan anak-anak kampung Bulu yang masih bercengkerama, membakar jagung dan berusaha tetap menyalakan api.
Aku berusaha tidur dengan otot perut yang kaku kedinginan. Khawatir sakit, terus mengucapkan kata-kata positif semacam jangan sampai diare, kebelet pipis dan sebagainya. Pikiran-pikiran itu menjadi aneh dan lucu setelah turun dari puncak nantinya. Mungkin ini hanya dialami pendaki pemula sepertiku. Bahkan berfikir bagaimana mau BAB jika terlanjur kebelet dan tidak bisa ditahan. Membayangkan harus buang air di ruang terbuka yang hanya ditutupi rumput setinggi manusia, malu bukan main.
Satu jam sekali aku terbangun, melihat jam tangan, kembali tidur, terbangun lagi, melihat jam lagi. Pukul 04.00 WIB adzan subuh berkumandang dari kaki bukit. Kurasakan saat itu adalah suhu terdingin sepanjang malam. Suara-suara cengkerama di luar tenda masih sama, anak-anak kampung. Ku buka risleting pintu tenda dan melongok keluar. Dua tenda mentor kami masih hening. Tiga teman perempuanku juga masih terdiam meringkuk.
Aku merasa putus asa tiba-tiba. Kututup lagi tenda, kututup lagi risleting SBku. 04.30 WIB aku terbangun lagi, dan diluar masih hening. Apalah dayaku, aku mencoba kembali tidur meski tak berhasil. Menggeser-geser layar handphone berharap bisa main instagram atau update status di BB mesenger, andaikan ada sinyal. Lalu aku hanya merenung menatap langit-langit tenda dalam kebekuan.
1 Januari 2017, 05.00 WIB. Anak-anak kampung membuat suara berisik membangunkan para pendaki. Menyampaikan pada kami iming-iming indahnya sunrise dari negeri di atas awan Sigandul. Aku bangkit, menggenggam handphone dan kulempar SB begitu saja. Keluar dari tenda, mencari bukti.
Bias cahaya matahari oranye tua, mengintip di kejauhan. Kubangunkan teman-teman gadisku agar segera keluar. Mereka kemudian heboh mencari kamera. Membangunkan mentor demi mendapat jepretan istimewa. Dan lucunya, dua kamera mentor disimpan di tenda kami, tepat di bawah kakiku ketika tidur.
Bias cahaya itu merangkak naik. Ya Tuhan, betapa pesimisnya aku tadi malam yang berfikir aku akan habis di jalur pendakian. Dan ternyata pagi ini aku masih bangun dengan menggigil segar melihat matahari pertama tahun 2017 muncul dari bekunya subuh.
Momen ini sulit sekali diungkapkan dengan sebaris kalimat, bagaimana indahnya melihat gunung-gunung sejak langit masih gelap dan udara beku. Gunung Prau, Gunung Sindoro dan Sumbing. Arsitektur denah pemukiman di kejauhan kaki bukit yang samar-samar masih tertutup kabut. Awan-kabut menggumpal di bawah kakiku, seolah aku ingin melompat lalu bergulingan disana. Angin yang terus berhempus menampar wajah dan mendorong tubuh kami. Aku tidak membawa sandal, dan sepatuku masih basah. Tanah yang dingin seperti hamparan es di permukaan telapak kaki, begitu dingin namun tak cukup membuat berkurang sedikit kebahagiaan dan rasa syukur.
Mengabadikan momen dengan kamera, bergabung bersama pendaki lainnya. Wajah-wajah ceria, bahagia, mungkin ekspresiku tak beda ketika mereka tak sengaja melihatku.
Aku bersyukur pendakian pertamaku mencapai 2005mdpl dengan begitu ketakutan, gemetaran, pesimis, dan phobia pada kegelapan sekaligus ketinggian benar-benar mendorong turun semangatku. Tetapi tetap saja semua itu tak berdaya ketika aku terus melangkah naik dengan keringat bercucuran.
Background strategis menjadi incaran para pendaki. Pukul 08.00 WIB kami menepi, kembali ke tenda. Makan, bersih-bersih, packing. Pukul 09.00 WIB kami berdiri melingkar, berdoa. Menjadi rombongan yang turun terakhir dari puncak.
Mentor mengatakan : perjalanan turun lebih menantang daripada naik. Jika jalur curam dan tampak bahaya, turun dengan posisi menghadap ke atas dan berjalan mundur. Agar jikalau tergelincir kalian mendapat pegangan rumput dan ranting.
Daripada naik dalam kondisi gelap, turun bukit dalam suasana terang, semua benda di bawahku terlihat, jauh lebih mengerikan. Melihat daratan di bawahku membuatku gemetar. Aku hanya sanggup berjalan turun hingga POS 3. Mulai dari POS 3 aku bertahan berjalan jongkok atau dengan pantat. Setiap kali aku mencoba berdiri, kakiku gemetar dan membuatku tersandung, terpeleset dan sebagainya. Perjalanan turun satu pos jauh lebih melelahkan karena ketakutanku sendiri pada ketinggian.
Kami terus turun hingga mencapai POS 2, di POS 2 terdapat gardu pandang yang baru dibangung, tinggi, tidak tampak kokok namun nyatanya tegak.
Menghabiskan sedikit waktu untuk mengambil gambar, dan aku terkapar. Membiarkan kakiku rileks dari ketakutan perjalanan satu jam lalu.
Mulai POS 2 ini, aku baru berani berdiri tegak. Menuruni jalan yang mulai landai. Ketegangan dan ketakutanku hilang sirna, aku mulai bernyanyi, berteriak, dan melepaskan emosi negatif yang menggerogotiku. Pukul 11.00 WIB kami sampai di basecamp. Dengan segera menyelesaikan administrasi, mengambil sepeda motor dan pulang ke rumah temanku di desa Ngadirejo.
Membersihkan badan, mandi, makan, dan merebahkan tubuh dilantai. Aku tidak pernah menyangka aku kembali dengan selamat, sehat, tanpa kurang suatu apa. Mungkin ketakutan dan phobia itu sedikit berkurang meski tidak semuanya.
Walaupun aku diledek habis-habisan oleh mentor mengenai ketidakbecusanku mendaki. Tidak mengapa, toh rasa terimakasihku kepada mereka dan kawan-kawan tetap lebih besar daripada gurauan-gurauan itu. Mereka membersamaiku mendapatkan pengalaman yang entah kapan bisa kudapatkan lagi.
Jempol yang bengkak karena terdorong masuk oleh kuku, telapak kaki yang kapalan, tangan yang tersayat duri rerumputan, otot-otot yang lelah, luka-luka lecet, semua itu hanya sedikit sakit dan akan segera sembuh.
Kami berpisah pukul 01.30 WIB, kembali ke rumah masing-masing.
Tubuh lelah tak karuan, rasa mengantuk tak terhindarkan, lapar dan haus terlupakan. Aku hanya ingin tidur dengan segera.
1 Januari 2017 pukul 15.15 WIB, kembali tiba di rumah dengan sehat, selamat dan bahagia.
Terimakasih pengalaman.
Terimakasih kawan-kawan, terimakasih kapten, mentor. Dan yang paling utama, Alhamdulillah ya Allah.
05.00 WIB, waktu setempat |
10 menit sebelum basecamp |
Kusam, butuh sandaran. |
06.00 WIB. Dari belakang : Khulfah, Azhthrie, saya, Ali M (mentor) |
Perjalanan 10 menit pertama menuruni bukit. Tahu kan saya yang mana, haha.
Segaaaarrrrt |
0 komentar:
Posting Komentar