Nganu

Ada seekor binatang, sebut saja nganu.
Nasibnya sungguh mengenaskan.
Telur dan induknya dijadikan perdebatan, duluan mana, duluan mana.
Membuat para ilmuwan mengulangi penyelidikan, lalu mendapatkan kesimpulan, penemuan baru.

Ketika jadi telur, dia sudah digotong sana sini, dijual di pasar, diselundupkan, lalu diambil hak hidupnya.
Jangankan untuk menetas, baru keluar dari tubuh induknya sudah ditunggu keranjang-keranjang penampungan. Dikumpulkan dengan kawan-kawannya.
Laris manis diobral di pasar, dipecah kulitnya, di goreng, direbus, diorak-arik, dibikin perkedel, dimixer dengan tepung.
Jangankan berkembang, begitu cangkangnya mengeras, mereka jadi incaran.

Kalau mereka dapat kesempatan lahir dan menjadi generasi kecil-kecil. Ada saja yang menyemprot bulu-bulu halusnya dengan cat warna-warni yang memabukkan, membuat kepala mereka pusing, membuat bulu mereka lengket, dan mengubah jati diri mereka. Dikurung dalam kandang warna-warni, disuruh berbunyi, piyak piyak piyak. Lagi-lagi diobral di pasar hewan, di pasar malam, di pasar keliling.

Besar sedikit, kandangnya juga semakin lebar, berkumpul bersama saudara, makan makanan bergizi yang enak, minuman segar pelepas dahaga, menjadi gemuk ginuk-ginuk, lalu mulai dewasa dan gemar berkeluh kesah, menghitung umur yang masing-masing pendek, menunggu hari eksekusi, lalu mengucapkan salam perpisahan.

Tidak ada penghormatan dalam perjalan hidup si 'nganu'. Tetapi setelah mereka mati, mereka terbagi dalam kasta-kasta, kelas-kelas, tangan-tangan algojo, piring-piring, nama-nama dan harga. Apakah mereka dihidangkan di dapur rumah, di warung tegal atau di restoran bintang lima.

Di lidah para manusia, mereka mendapat puja puji.

#
Tantangan ODOP mba Ciani,
Menulis tentang ayam tanpa menyebutkan ayam.

Share this:

JOIN CONVERSATION

1 komentar: