# POV 1 #
Cinta tak pernah buta, ia berasal dari nurani kasih sayang, ia tak pernah salah, jika datang sebuah cinta yang memaksamu, itu adalah cara yang salah, karena setan sudah ikut campur di dalamnya. Panji Ramdhana bilang, sesuatu yang menyenangkan tidak selamanya baik untuk kita, ia terlihat baik karena kita terbiasa menyenanginya.
Aku khawatir jangan-jangan aku yang membuat segalanya menjadi salah. Sejak aku memintanya menikahiku, seolah-olah aku menjadi perempuan seperti Khadijah yang melamar Muhammad. Hanya karena usiaku yang dua tahun lebih tua darinya. Sedangkan kepribadianku tak pernah dapat menghilangkan kehausannya akan kesungguhan kasih seorang isteri.
Aku memintanya menikahiku, dua belas tahun yang lalu, melalui orangtuaku. Aku memang jatuh cinta padanya, sehingga tidak ada yang bisa final aku lakukan selain memintanya menjadi suamiku.
Aku jatuh cinta pada kepribadiannya yang dewasa, mengayomi, dan akhlaknya. Dengan segala keyakinan kutinggalkan agamaku untuk menjadi mualaf, belajar menjadi perempuan berkerudung, dan merubah diri menjadi seperti perempuan muslim lainnya.
Tlah lama kutanam kasih, mengapa orang tak setia. Aku tidak tahu apakah aku menyesal menukar keyakinanku dengan harapan mendapat cinta yang jauh lebih baik dari tuhannya. Apakah ini Muhammadku? Yang dulu kubanggakan menjadi pengukuh iman dan setiaku. Yang dulu kubanggakan menjadi nahkoda dalam kehidupanku.
Dia pergi, meninggalkan cinta yang ku beri di sudut kamar kami. Sementara raganya pindah di ranjang lain di kamar sebelah, di rumah kami. Aku kesepian, lalu aku bertanya apakah ia juga kesepian. Kami pergi berpisah setiap pagi, tanpa saling menyapa. Terkadang aku bertanya apakah cintaku padanya menghilang. Aku bahkan tak lagi merasa mencintai anak-anak kami, dan segala kehidupan dalam keluarga kami menjadi sesuatu yang tak perlu kupedulikan.
Aku abai, entah kenapa. Apa aku kehilangannya? Lalu kehilangan peganganku? Aku memenuhi hidupku sendiri, kulakukan apa yang aku mau, pulang kerumah di waktu yang kuinginkan. Aku dan dia seperti dua onggok patung di bawah atap yang sama. Keceriaan anak-anak tidak lantas membuat kami saling sapa, memeluk, berkeluh kesah satu sama lain.
Dahulu aku begitu bangga mengandung dan merawat dua anak-anak darinya. Dahulu kubanggakan siapa ayah mereka. Ada selembar tabir tipis yang menghalangi kami hidup sewajarnya sepasang manusia yang menikah. Membuatku putus asa, dia tak memberitahuku dimana letak aku harus mengalah, dan ia juga tak mau mengalah. Perempuan mana yang mau diperlakukan seolah ia dari kasta yang rendah karena tidak memiliki kemampuan menaklukkan hatinya. Apakah rumput tetangga memang selalu kelihatan lebih hijau, sehingga ia membandingkanku dengan gadis lain di luar sana.
Aku hampir tak percaya jikalau aku tak boleh menyesal memintanya menikahiku. Jika ia tak mau, kenapa pernikahan ini sudah berlangsung belasan tahun seperti penjara?
***
# POV 2 #
Sahabatku bilang,
"Key, apapun alasannya dan bagaimanapun kau mencari pembenaran. Semua ini sudah salah dari awal". Lalu aku bertanya-tanya apa yang salah dengan diriku yang jatuh cinta. Dia selalu punya jawaban yang logis namun tak bisa kupertimbangkan.
"Key, okelah kalau kamu jatuh cinta, siapa yang bisa mengendalikan itu? Jatuh cinta itu kehendak tuhan, memangnya aku bisa? Tidak. Tetapi resapilah, apakah caramu mencintainya itu juga sebuah cara dari tuhan?".
Yah, terkadang aku geli mendengar nasehat Afia, sahabatku. Aku melakukan segalanya yang bisa ku lakukan untuk lelakiku, segala aspek. Membantu pekerjaan kantornya, membantu pekerjaan lain di luar kantor, menemani perjalannya, mendukung segala yang ia lakukan dengan berbagai cara, merawatnya, mengawasinya, mengingatkannya. Aku melakukan segalanya untuk Viand.
Sudah sepuluh tahun, dan aku selalu memiliki tempat terbaik di hati dan kehidupan Viand. Bagaimana aku tahu? Ya karena dia yang mengatakannya.
Afia sekali waktu mengatakan. Viand punya istri dan anak-anak. Maka sebenarnya merekalah yang lebih berhak memberikan seluruh hidup mereka untuk Viand, bukan aku. Lantas kubalas, bagaimana kalau mereka tidak bisa melakukannya untuk Viand. Afia dengan tengas mengacungkan jari telunjuknya di di depan wajahku, berkata.
"Meski begitu, bukan berarti kamu berhak mengisi tempat itu. Sekalipun tempat itu adalah kekosongan di hati Viand".
Afia selalu mengatakan bahwa jatuh cintaku tidak salah, tapi semua sikapku selama inilah yang salah. Aku terkadang setuju dengan pendapat Afia meski itu sangat menyakiti hatiku. Lalu aku mencoba meninggalkan Viand, pamit dari kehidupannya, lalu mencoba jatuh cinta pada lelaki lain. Hanya satu point penting yang Afia selalu katakan, berusahalah mencintai seseorang tanpa merusak kebahagiaan perempuan lain. Intinya dia menyarankanku untuk menjalin hubungan dengan pria single.
Satu kali, dua kali. Lalu entah bagaimana aku kembali lagi pada Viand setiap aku patah hati. Tiga kali, empat kali. Lalu entah kenapa aku selalu memiliki keyakinan yang justeru lebih kuat dari sebelumnya bahwa Viandlah tempatku kembali. Lima kali, enam kali. Jatuh cinta, berusaha membuat komitmen, lalu kandas.
Afia lagi-lagi meneriakiku setiap kukatakan bahwa tuhan yang mempersatukan kami kembali.
"Kamu yakin? Jika tuhan merestui, tuhan tidak akan memberikan cobaan yang sebesar ini. Apakah menjadi perempuan lain di tengah keluarga Viand adalah jalan yang diberikan tuhan? Logikamu sudah habis Key, habislah sudah karena cinta buta itu. Kamu kembali pada Viand bukan karena tuhan yang mau, tapi kamu yang mau. Memangnya selama ini kamu tidak sengaja ketika kembali pada Viand. Entah Viand yang mencarimu, entah kamu yang mencarinya. Itu bukan jalan yang benar. Haruskah gadis sepertimu yang begitu cerdas, baik dan memiliki sejuta potensi harus menyerahkan ketenangan hidupnya demi bersama Viand, seolah-olah hidup kalian baik-baik saja. Padahal kalian menanggung rasa bersalah. Apa kamu tidak merasa bersalah lagi? Hanya karena kalian menjalinnya selama sepuluh tahun ini? Tidakkah kau bayangkan bagaimana perasaan istrinya selama sepuluh tahun ini?"
Istrinya diam saja, tidak peduli. Aku terus berusaha membela diri, karena aku yakin dua ratus persen ini jalanku.
"Menurutmu kenapa istrinya terlihat tidak peduli?"
"Karena istrinya sudah tak mencintainya"
"Lalu kamu merasa berhak memberikan cinta kepada Viand dan mendapatkan balasannya kembali, segala-galanya? Jangan-jangan isterinya terlalu lemah hanya untuk merajuk, ia tak lagi punya kekuatan selain diam. Bisa kau bayangkan Viand lelaki seperti apa di dalam rumahnya? Yang ia berkewajiban memberikan cinta kepada isterinya namun ia berikan padamu, apakah sikap itu bertanggung jawab?"
"Mungkin isterinya selingkuh?"
"Mungkin selingkuh? Lalu bagaimana dengan kalian? Sudah bukan mungkin lagi, kalian memang selingkuh, Key"
Afia selalu berapi-api menunjukkan kesalahanku. Dan aku tidak tahu kenapa kalimat tajam sahabatku ini tidak pernah membakarku sekaligus. Aku merasa berhak memberikan cinta kepada Viand, karena aku memiliki cinta itu dan aku ingin memberikannya padanya. Dan bagi Afia, inilah pemberian yang salah.
"Laki-laki seperti ini, yang tidak bisa memberikan ketegasan pada perempuannya. Perempuan yang harusnya ia peluk dalam tanggung jawabnya justeru ia abaikan, sementata kamu tidak punya hak apa-apa selain nafsu yang membuatmu terus menempel padanya. Kau tahu siapa yang rugi, Key? Kamu dan istrinya. Dua perempuan yang mencintainya namun sama sekali tidak bisa ia berikan rasa adil. Selalu begitu, perempuan yang rugi atas kegamangan lelaki"
"Adil seperti apa yang kau maksud?", tanyaku padanya.
"Apa kau merasa adil mencintainya dengan cara seperti ini? Sedangkan ia punya istri"
"Adil"
"Tidak! Kau mengatakan adil karena takut akan komentarku. Apakah istrinya merasa adil dengan hubungan kalian? Tidak! Lelaki macam apa yang tidak bisa memberikan keadilan pada perempuan yang sah dan berhak ia beri keadilan, apalagi kamu? Apa kau sadar betapa malangnya posisimu?"
Yah, aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan, selain mencintai Viand. Karena kami tidak bisa saling meninggalkan.
***
# POV 3#
Namaku Ayunda, putri pertama dari ayah : Viand, dan Ibu : Shinta. Aku kelas XII di sebuah SMA. Adikku Heri, masih kelas VIII di satu yayasan SMP dengan SMAku. Kami sekolah bersama setiap hari. Kami lebih suka di sekolah atau pergi jalan-jalan berdua. Ke taman kota, atau ke manasaja. Asalkan tidak dirumah.
Orang-orang memandang kami adalah keluarga yang harmonis, open minded dan asyik. Tidak banyak orang tua yang membiarkan anak-anaknya tidak langsung pulang selepas keluar dari sekolah. Teman-temanku melihat kami memiliki kehidupan yang bebas dan berkecukupan.
Dulunya, aku juga mengira begitu. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa keadaannya berjalan semacam itu. Namun apa yang membuat Ayah dan Ibu tidak begitu memperdulikan kami. Mereka bagiku, adalah orang tua yang egois. Mereka sibuk bekerja dan lebih sering bersama teman-temannya daripada di rumah. Mereka lebih senang mengurus organisasi dan peekumpulan bisnis atau entah apa daripada jalan-jalan dengan kami.
Adikku, aku tidak tahu apakah ia memiliki pemikiran yang sama denganku. Tapi kami sama-sama enggan berada di rumah. Karena sarapan pun kami tak pernah satu meja dengan ayah dan ibu.
Ayah tidak pernah terlihat serius berbicara dengan ibu mengenai sesuatu. Aku benci dengan kondisi ini, kami sama sekali tidak tampak seperti sebuah kekuarga. Lebih cenderung tampak seperti orang 'seatap' saja.
Ayah semakin hari semakin pendiam, begitu pula ibu. Aku hanya ingin tahu, kenapa mereka begitu. Yang kubutuhkan hanya sedikit, melihat mereka hidup saling mencintai. Tapi kapan? Apakah seperti ini memang watak mereka, atau ada sesuatu yang membuat mereka bersikap dingin. Atau, mereka tetap bersama demi kami berdua, anak-anaknya.
####
Menjawab tantangan ibunda Vinny Martina. Sebuah cerita dengan 3 POV.
Pict by google