Bubuk Kopi bag 9
Tidak ada pilihan lain. Bapak dan Mamah menceramahiku panjang lebar ketika kukatakan aku akan kembali ke Jakarta malam ini juga, saat mereka tiba di Rumah Sakit. Keterlaluan jika kami hidup terpisah seperti ini dan ketika Narai sakit aku tidak berada di sisinya. Dengan terpaksa aku meminta ijin untuk tidak mengisi kelas. Sudah empat tahun aku di Universitas , kenal baik dengan jajaran dosen, karyawan maupun atasan. Lucunya, mereka tidak satupun yang tahu bahwa aku sudah menikah.
Aku harus pulang ke rumah, ke rumah Narai tentunya. Akhirnya kuketahui penyebab sakitnya Narai. Ia kelelahan, kehujanan, mengakibatkan ia diare dan vertigo. Cukup membuatku lega ia pinsan di pabrik, sehingga bisa ditemukan segera oleh karyawannya.
Dokter mengatakan tubuhnya stres, terlalu banyak bekerja. Pikirannya stres, asam lambungnya tinggi. Lengkap sudah, lalu haruskah aku khawatir dengan kondisinya?.
Rumah ini masih sama seperti ketika aku meninggalkannya tiga bulan lalu untuk kembali ke Jakarta. Warna kayunya, lantai kayunya, pintu sojinya.
Ada rasa beku yang membuat otot-ototku kaku saat memasuki rumah ini. Entah kenapa, sedikit peduliku pada Narai juga tak sedikit menambah suasana hangat di rumah ini. Dia juga tak bergeming. Membiarkanku menyediakan keperluan-keperluan di dekat ranjangnya.
Sekali ini aku masuk ke dalam kamarnya, kamar utama di rumah ini. Kepalaku pusing mencium aroma wangi parfum-entah apa. Kepalaku pusing melihat lebarnya jendela yang memperlihatkan landskap di luar ruangan, seperti landskap di ruang baca. Kepalaku pusing melihat lemari berpintu soji selebar dinding. Kepalaku pusing melihat foto lelaki dan perempuan berdiri berhadapan dengan balutan busana yang serasi. Perempuan itu mengenakan gaun putih polos dengan aksen batu permata besar-kecil berwarna biru tua. Nampak sangat menonjol. Sedangkan lelakinya mengenakan setelan jas berwarna biru dongker.
Kepalaku pusing melihat wajah sepasang itu. Si lelaki menatap wajah perempuannya teduh, senyum tipis yang penuh kesan. Tangan kanannya memeluk pinggang hingga ke bagian belakang, tangan kirinya memegang jemari tangan kanan perempuannya. Sementara perempuannya menatap kejauhan dengan senyum lebar. Telapak tangan kirinya berada di atas krah jas lelakinya.
Aku tidak ingat aku pernah berdiri sangat dengat dengan Narai. Seperti dalam foto itu. Aku tidak tahu hasil pemotretan di hari ijab qabulku, apalagi kenyataan bahwa Narai mencetaknya dan memasangnya dalam figura ukir beraksen bunga, lalu meletakkannya tepat di dinding di atas ranjang.
Aku menjauh dari Narai ketika sesi pemotretan itu selesai. Meninggalkannya tepat satu bulan kemudian setelah hari itu. Dan sampai sekarang, aku baru melihat betapa cantiknya ekspresi kami dengan busana itu. Setelah 4 bulan kami menikah, aku baru tahu bahwa foto kami dicetak olehnya.
Bagaimana aku tahu, sebulan di rumah ini aku tinggal di kamar tamu. Kami bertemu saat waktu makan, selebihnya adalah kehidupan yang terpisah.
Lalu sebuah foto lain dengan figura kecil di meja. Pakaian kami berwarna abiu-abu, dan aku ingat betul handbouqet berwarna merah di tanganku.
Kepalaku pusing, kesalahan-kesalahan ini sepertinya akan terus bergulir.
Sumber gambar : google
Bagus mbal el....tidak ada yang salah dengan tokoh dalam cerita ini
BalasHapus