Bubuk Kopi bag 8
Tata POV
Sepi, Narai mungkin tidak akan bangun sampai esok hari. Aku duduk di sofa empuk di kamar VIP ini. Memainkan game mahjong di notebook. Mamah baru akan mengirim baju ganti esok hari juga. Sekarang sudah pukul satu malam. Aku bahkan tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Meski cuaca dingin, akan tetapi rasa tidak nyaman terus menempel di kulit. Aku mulai berfikir tidak masuk akal aku berada disini, tengah malam ini. Rasanya akan lumrah jika aku sedang tidur nyenyak di rumah kost, Jakarta.
Kalah berkali-kali, game mahjong rupanya ikut mempermainkanku. Semakin sepi, semakin terdengar suara cengkerama para suster di luar kamar. Di kamar ini hanya terdengar nafasku sendiri, detak jam dinding, dan suara efek game mahjong setiap kali aku berhasil match kartu-kartunya.
Narai tidur terlampau tenang. Ia bahkan tidak terdengar menggoyangkan bed besi yang biasanya akan berderit. Aku belum pernah sekalipun melihatnya tidur selama ini. Saat ini pun, posisi kami dibatasi tirai yang memisahkan bed pasien dan sofa pengunjung.
Aku meletakkan notebook di meja dan turun dari sofa, bermaksud melihat keadaan Narai. Ia tidak tidur, melainkan sedang duduk tenang di atas kasurnya. Aku terkejut.
"Tidak tidur?", tanyaku.
Bibir pucatnya tersenyum. Rambutnya acak-acakan. Matanya berkantung, gelap. Pipinya tiba-tiba terlihat lebih tirus. Ah, memangnya aku pernah seberapa jeli memperhatikan struktur wajahnya. Aku memang mengakui Narai tampan, dan si tampan itu sekarang sakit.
Mau tidak mau, pantas tidak pantas, aku harus menghampirinya. Ia mengikuti gerakan tubuhku yang mendekat.
"Sejak kapan kamu bangun?"
"Sejak kamu menutup tirai dan main mahjong"
"Kamu tahu aku main mahjong?"
"Nada nya khas sekali"
Aku tersenyum sedikit. Entah kenapa.
"Mau minum?"
Narai mengangguk, kubuatkan susu putih hangat. Semua perlengkapan yang tersedia di kamar ini disiapkan oleh Mamah. Apa aku pantas merasa durhaka? Kepada Mamahku.
"Kenapa tak ganti baju?", ujar Narai, ia tentu memperhatikan kemeja yang ku kenakan.
"Mamah baru bisa antar baju besok pagi"
"Pakai bajuku"
Aku tertegun mendengar usulnya.
"Ada kaos lengan panjang di lemari, mandilah dan gantilah pakaianmu. Kamu tidak akan bisa tidur"
Aku masih memikirkannya ketika Narai mendorong lemah tanganku yang masih memegang gelas susu ke dekat meja, menyuruh meletakkan gelas. Mau tidak mau, pantas tidak pantas. Aku mengambil kaos lengan panjangnya, berwarna hijau tua. Aku mandi, menggosok gigi dengan sikat Narai mungkin. Meski tidak benar-benar bersih, setidaknya tubuhku lebih merasa baik daripada sebelumnya.
Narai masih tetap dengan posisinya saat aku selesai. Ia sudah menghabiskan segelas susu hangat. Aku duduk di kasur pasien, di samping kanannya.
"Ada apa?", tanyaku.
"Soal?"
"Kamu sakit apa?"
"Diare"
Ha? Sungguh? Aku hampir tertawa mendengarnya, tapi aku tahu diare memang menyakitkan.
"Kenapa bisa?", lanjutku.
"Mungkin cuaca, lelah, makan tidak teratur"
Aku terdiam menatap sisi kanan wajahnya. Salah, kondisi ini salah sejak awal bukan?. Tidak bisa aku hanya menikah tanpa mengurus suamiku. Dia tak pernah menuntut dan aku tak pengertian. Aku merasa bersalah mendengar jawabannya. Tapi itu salahnya juga, kenapa Narai menikahiku dengan segala resiko yang ia tahu.
"Bisa tolong ambilkan air? Aku ingin cuci muka", katanya.
Aku tidak bisa menolak, kuambilkan air hangat dan memegangi baskom di bawah dagunya. Memikirkan sesuatu sambil memperhatikan wajahnya dari atas. Mencium aroma rambutnya yang mulai tak sedap.
Narai, lekaslah sembuh, kupikir lebih baik kita bercerai saja sesegera mungkin setelah engkau sehat.
0 komentar:
Posting Komentar