Yang Mengisi Ruang Kosong
Adzan magrib sudah lama berlalu, ayah selalu shalat maghrib dahulu sebelum mulai makan besar. Ayah hanya mengambil seteguk air putih dan sebutir korma begitu adzan berkumandang. Ibu juga begitu, sama seperti ayah. Sementara kakakku tidak pernah bersiap-siap sebelum berbuka. Seringkali ia sedang melakukan sesuatu di kamar, berbaring, menulis di blog atau di laptop, terkadang hanya sekedar berbalas bbm dengan teman-temannya.
Berbeda denganku, menjelang maghrib selalu menjadi waktu yang menyibukkanku. Aku akan berada di dapur sekaligus ruang makan untuk menyiapkan segala sesuatu. Seperti, mendinginkan nasi, mencampur sayur urab dengan sambal kelapanya, menata dua tiga gorengan di atas piring, membuka toples kerupuk dan meletakkannya di samping piringku seolah-olah nanti ketika magrib tiba aku tidak akan kebagian. Belum lagi adonan kolak pisang dengan cendol dan potongan jelly rumput laut hitam, susu, sirup dan kolang kaling. Semuanya harus lengkap.
Aku memang paling banyak makan di rumah. Selalu duduk di meja makan paling awal dan beranjak paling akhir. Berbeda dengan kakakku yang sepertinya tidak lapar, porsi nasinya juga sedikit, bahkan dia lebih banyak makan sayuran daripada nasi. Yang paling membuatku heran, kakak bangkit dengan cepat dari meja makan. Setelah shalat, kakak turun dari mushola rumah, meneguk sekali dua adonan kolak ku lalu kembali ke kamar, tadarus.
Lama-lama itu menjadi biasa bagiku. Melihat kakakku yang tidak banyak makan saat berbuka. Tapi aku sudah tahu, saat jam sembilan malam ia akan mengeluh lapar. Meski ia mengeluh lapar, dia tidak makan. Kalau aku, aku tidak akan bilang aku lapar, tapi akan langsung mengambil makanan di dapur.
Waktu begitu cepat berlalu, adzan isya tiba-tiba sudah berkumandang. Kami berduyun-duyun ke masjid. Meski aku sudah SMA dan selisihku dengan kakak sangat jauh, delapan tahun. Tapi sekarang kami terlihat seusia, badanku juga lebih tinggi darinya.
Kami selalu shalat tarawih bersisian. Meski aku tak suka berada di barisan lain dari kakak, aku juga kesal dengan sikapnya. Ia menganggap sajadah kami terlalu lebar dan menumpuknya agar pas di pakai dua orang. Aku sesekali protes dan dia hanya tersenyum, tidak peduli dengan keluhanku.
"Kenapa sih harus ditumpuk kak?"
"Biar dekat", katanya santai.
Kakak selalu mengajakku berangkat tarawih di awal waktu, sehingga kami selalu mendapat barisan paling depan.
Ramadhan sudah menginjk hari ke tujuh, entah kenapa kakak lambat sekali bersiap-siap. Hal itu membuat kami terlambat ke masjid dan mendapat barisan shaf paling belakang. Lagi-lagi dia menumpuk sajadah kami. Setelah shalat jamaah isya kakak menyuruhku untuk tidak segera bangkit shalat tarawih.
"Lihatlah nok", katanya sambil menunjukkanku barisan shaf di depanku.
"Apa?", aku tidak mengerti.
"Orang-orang berjamaah di masjid, membawa sajadah dari rumah. Sajadahnya besar-besar sekali kan, seperti punya kita"
"Terus?"
"Kan harusnya kita berjamaah itu merapatkan barisan kita, tapi kalau sajadahnya besar-besar seperti ini, padahal dipakai sendiri masih sisa banyak, dan akhirnya shaf kita tidak rapat, terlalu jauh celahnya antara satu orang dengan lainnya"
Aku masih belum mengerti, lalu kakak melanjutkan.
"Bukannya berjamaah itu harus rapat, agar tidak ada syaithan yg mengganggu di sela-sela jamaah. Lha kalau sajadah lebar semua, barisannya jarang-jarang, semakin mudah kita diganggu. Makanya kakak selalu menjadikan satu sajadah kita. Apa sopan kalau kakak mengingatkan orang lain yang lebih tua dari kita, sepertinya tidak mungkin kan?"
Lalu rakaat tarawih sudah berlanjut ke rakaat kelima. Kakak berdiri dan segera mengikuti imam. Aku bisa melihat shaf jamaah yang tidak rapat. Mungkin kakak ingin merapatkan shafnya, paling tidak denganku.
Aku masih memikirkan kalimat kakak saat tarawih hari selanjutnya, memang benar. Sajadah para jamaah telmpau lebar apalagi untuk mereka yang bertubuh langsing. Aku jadi setuju dengan pendapat kakak. Gara-gara kalimat kakak, aku kemudian teringat kejadian Ramadhan beberapa tahun yang lalu.
Saat itu aku masih SD, kakak memang terbilang rajin mengajakku ke masjid. Aku saat itu masih suka bergurau saat shalat tarawih. Tapi kakak selalu menarikku ke barisan depan. Dan aku sekarang ingat betul apa yang dia katakan.
"Depan saja, kakak tidak konsentrasi melihat mukena orang-orang"
Memang, kebanyakan orang-orang memakai mukena dengan warna warni cerah. Sekarang aku tahu kenapa kakak tidak bisa konsentrasi, mungkin ia malah mengamati gambar-gambar bunga itu. Sebenarnya aku juga sering mengalami hal ini jika tidak kebagian shaf depan. Terkadang aku membaca kaos partai yang di pakai jamaah lain jika mukenanya transparan.
Kupikir kakak memang mengesalkan. Iya, dia memang mengesalkan. Dia tidak segera memberitahuku alasannya.
***
Sumber gambar : google