Selasa, 26 September 2017

OPALO #15

Malam ini kami menginap di kost Nando. Membuat Nando harus pindah ke kamar sebelah, kami tidak diperkenalkan dengan si empunya.

Aku dan Opalo mandi sebelum adzan maghrib berkumandang, namun tidak ganti baju. Meminjam baju Nando? Tidak mungkin, lebih nyaman begini. Hanya saja aku mulai berfikir apakah kami akan segera pulang atau tidak. Nando memberitahu kami bahwa ia sudah menelepon ibu dengan pusat panggilan yang dialihkan, yang kupahami adalah semacam penelepon terselubung atau private number. Nando dan Ibu sepakat untuk membuat alibi bahwa kami sedang melakukan perjalanan piknik ke Jakarta.

Nando terlalu bersiap-siap, dan aku tidak mengerti persiapan macam apa yang sedang ia lakukan. Dari perbincangan kami saat makan malam bertiga, di dalam kamar tentunya karena aku sendiri merasa tiba-tiba takut keluar dan terlihat oleh orang lain. Aku mendengarnya mengatakan bahwa ia membobol sistem KAI (PT Kereta Api Indonesia) untuk membuat tiket palsu yang mendaftarkan nama kami dalam perjalanan Semarang-Jakarta sore ini.

Nando cukup cerdik untuk membuat manipulasi. Dan lucunya ia juga sudah melakukan pendaftaran kursi pulang Jakarta - Semarang untuk sepuluh hari yang akan datang, perjalanan manipulatif tentunya.

Kurasa ia ikut berfikir keras setelah Opalo menceritakan kejadian kejar-kejaran pagi tadi. Nando menjelaskan kepada kami maksud perjalanan manipulatif itu agar kalausaja orang-orang berbaju hitam, para men in black itu mencari kami kerumah maka ibu akan mempunyai alibi kemana kami pergi. Lalu ketika mereka mencari data kami di stasiun mereka akan menemukannya, menemukan penipuan atas nama kami pada daftar pembelian tiket kereta api . Bukankah tentu mungkin saja mereka akan melakukan hal itu kepada kami, terutama Opalo. Jika memang Opalo adalah targetnya.

Aku merasa Nando cocok menjadi tim intelijen negara. Nando menyimpulkan ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, para men in black itu akan mengejar kami ke Jakarta. Atau kedua, mereka akan menunggu kami sepuluh hari mendatang di Stasiun Tawang untuk menangkap kami. Ketiga, kami belum bisa menemukan opsi lain.

Aksi kucing-tikus di rumah sakit itu berawal dengan kegiatan rutin Opalo mengunjungi dokter Muhammad untuk memeriksakan matanya, bersamaku. Kami masih di ruang tunggu, ketika seorang pemuda keluar dari ruang praktek menemui kami dengan wajah gelisah. Dia mengatakan kalimat :

"Dua orang laki-laki mengikuti kalian, dia sedang menuju kesini sekarang dan sudah berada dua puluh meter dari kalian di sisi kiri", ketika leher kami reflek hendak menengok dia menahan.

"Jangan tengok. Larilah secepat mungkin. Atau kalian mau bersembunyi di poli dokter?".

Opalo bangkit dan masuk tanpa ijin ke klinik dokter Muhammad. Aku sekelebat bisa melihat dua orang yang mungkin dimaksud oleh pemuda itu mulai berlari ke arah kami.

Dokter Muhammad membuka pintu di sisi lain poliklinik setelah sebelumnya mengatakan untuk tidak menghubunginya sampai dia sendiri yang menghubungi kami. Lalu pintu poli dibuka paksa. Pasien yang dalam posisi pemeriksaan histeris. Kami lari melalui sisi belakang poliklinik. Dikejar dua men in black itu. Aku merasa terjadi kegaduhan besar disana, semoga bisa diatasi.

"Aku akan mengawasi keadaan sebelum membiarkan kalian mencari informasi dan pulang. Sementara ini tetaplah disini". Kata Nando sebelum meninggalkan kami di kamarnya.

Aku tidak bisa tidur, menatap langit-langit kamar Nando yang seolah-olah sedang memelototiku, mengawasiku.

Opalo menghadap tembok, aku ingin bertanya apakah ada sesuatu yang mungkin bisa ia ceritakan padaku. Tapi aku tidak tega, kubiarkan saja ia hanyut sendirian.

Setelah kuingat-ingat. Pemuda yang mengingatkan kami siang tadi adalah pemuda yang ikut mengantar dokter Muhammad ke rumah kami sewaktu Opalo menghilang dengan Nando gara-gara penemuan cetak biru gereja blenduk, ya aku yakin mereka orang yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar